SEPEKAN terakhir Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan menuai
banyak sorotan dari kalangan jurnalis dan aktivis menyusul kebijakan institusi
itu menutup informasi perkembangan sejumlah kasus korupsi untuk publik. Hingga
Komisi Informasi Publik (KIP) Sulsel menilai langkah Kejati Sulsel itu keliru
karena bisa dianggap merampas hak-hak publik.
“Kejati itu badan negara dan
menggunakan anggaran negara sehingga seharusnya terbuka atau transparan dalam setiap
melaksanakan aktivitasnya, apalagi menyangkut penanganan kasus korupsi,” tegas
Ketua KIP Sulsel, Aswar, kepada wartawan, sambil menambahkan bahwa memang ada
wilayah keterbukaan informasi publik yang diatur dalam undang-undang ada yang
sifatnya tertutup dan ada yang harus terbuka. Misalnya proses penyelidikan,
biasanya mereka tertutup untuk hal ini. “Seharusnya pihak kejaksaan mengekspose
ke publik, apalagi yang sudah memasuki tahap penyidikan harus dibuka ke
publik”.
Kejaksaan jangan hanya mengekspose
kasus dugaan korupsi yang tidak ada kaitannya dengan uang negara, seperti Kades
Tapong, Andi Farmila, yang dituding korupsi dan sudah dijadikan tersangka oleh
pihak Polres Enrekang. Dan, yang paling mengejutkan, Kades Tapong telah
dinonaktifkan oleh Bupati Enrekang atas desakan pihak kepolisian.
Kenapa pihak Kejati sengaja menutup-nutupi kasus korupsi yang besar dan kenapa
hanya korupsi yang nilainya Rp 45 jutaan seperti yang dituduhkan pada 4 kades
dari Kabupaten Enrekang yang dibuka, sedangkan ada yang milyaran tidak dibuka
secara transparan ? KPK saja sangat terbuka dalam menginformasikan kasus
korupsi ditanganinya.
Aswar menyarankan Kejati membangun
prinsip keterbukaan kepada pers dan aktivis, tujuanya agar publik bisa
mengetahui perkembangan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya. Kalau ditutup-tutupi
malah orang bisa memprediksikan macam-macam. “Jadi, kalau saran saya, terbuka
saja,” kata Aswar.
Aktivis dari Perhimpunan Bantuan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Cabang Sulsel pun menyayangkan
tindakan Kejati yang menutup diri. Wahidin Kamase, Direktur PBHI Sulsel,
mengatakan, jika Kejati menutup diri terus bisa dipersepsikan bahwa institusi
ini sudah masuk angin dan ini juga pertanda kejaksaan tidak pro-pemberantasan
korupsi di Indonesia, khususnya di Sulsel. Ada apa ? “Perkembangan kasus
korupsi yang ditangani kejaksaan harus terbuka di mana hak masyarakat atau
publik ingin mengetahui perkembangannya. Kasus korupsi memuat kepentingan
banyak orang sehingga tidak ada alasan kejaksaan menutupi perkembangan kasusnya”.
Wahidin mengatakan wajar ketika
publik menaruh curiga pada Kejati. Menurut dia, perkembangan sebuah kasus
korupsi bukan rahasia negara sehingga tidak ada alasan kejaksaan menutupinya
dan publik berhak tahu perkembangannya. “Jika Kejati terus bersikap seperti ini
maka PBHI minta Kejaksaan Agung RI melakukan pengawasan terhadap kebijakan Kejati
Sulsel tersebut. Padahal sebelumnya Kejati Sulsel cukup transparan dalam
membuka informasi kasus korupsi, tapi semenjak ada pergantian asisten pidana
khususnya terjadi perubahan. (Tim)R.26
No comments:
Post a Comment