Saturday, June 21, 2014

DRESTA BALI : MERASA DIZALIMI, WIGUNA GUGAT PILBENDESA SERANGAN

MERASA dizalimi, dikhianati, I Made Mudana Wiguna, Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan, menggugat Pilbendesa atau Pemilihan Bendesa yang dilakukan panitia pemilihan dengan ketua Prof I Ketut Widnya PhD. Surat gugatan dilayangkan ke MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman) Provinsi Bali untuk menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi hukum dalam persidangan kasusnya nanti. “Yang jelas, kasus ini harus disikapi sehingga tidak menjadi preseden buruk bagi bendesa lainnya. Dan biar terbukti kebenarannya,” ungkap Wiguna.
Munculnya gugatan bermula dari pemilihan bendesa yang dilakukan warga 2 banjar atas desakan Prof Widnya Cs, yang dilaksanakan pada  Jum’at, 9 Mei 2014. Padahal Wiguna masih sah sebagai Bendesa Adat Desa Pakraman Serangan hingga periode 2018. Pengesahan dan pengukuhannya pun secara tertulis melalui keputusan Sabha Desa IV Desa Pakraman setempat tertanggal 27 Mei 2013 yang turut disahkan Prof I Ketut Widnya yang saat itu menjabat sebagai Penua Kertha Desa. 
Pertimbangan pengukuhan Wiguna saat itu, termuat dalam surat pengukuhan, Perda Provinsi Bali nomor 3 tahun 2003, serta Awig-awig dan Eka Ilikita (aturan adat tertulis yang harus dipenuhi setiap warga desa adat setempat) Desa Pakraman Serangan tahun 2007. Poin mendasar yang menjadi pertimbangan itu bahwa jika dipandang berhasil, bendesa menjabat dapat terangkat kembali melalui paruman Sabha Desa.
Menurut Wiguna, poin itulah yang menjadi dasar keberatan pihak Prof I Ketut Widnya Cs sehingga mendesak supaya dilakukan pemilihan bendesa ulang melalui pemilihan langsung yang digelar pada 9 Mei 2014. Pihak yang bersangkutan pun pernah menyampaikan keberatannya atas penjelasan poin itu, bahkan berharap supaya awig-awig tersebut direvisi. Padahal, kata Wiguna, poin itu justru salah satu hasil penyempurnaan dengan melibatkan salah satu pakar hukum adat dari Universitas Udayana. Pertimbangan ditambahkannya poin itu, jabatan bendesa adat tidak bisa disamakan dengan jabatan laiknya Desa Dinas. Sehingga pengangkatan dan pemilihan pun tidak bisa disamakan dengan pemilihan seperti yang berjalan dan dilakukan pada desa dinas.
“Anehnya, kenapa tidak dulu saat revisi keberatan itu disampaikan ? Kok malah saat awig rampung dikukuhkan bahkan disetujui semua pihak termasuk Pemkot Denpasar dan Majelis Madya Desa Pakraman Kota Denpasar baru dipandang menyalahi,” ujar Wiguna.
Aneh memang, jika diperhatikan seksama yang terjadi justru terdapat ketimpangan. Warga dua banjar, menurut Prof Widnya, termasuk dirinya, menyampaikan tidak menganggap sah Wiguna sebagai bendesa menjabat, namun dirinya malah mengaku sebagai Ketua Kerta Desa Adat Serangan. Padahal kedudukan kertha desa diangkat dan disahkan oleh bendesa menjabat yakni Wiguna pasca dikukuhkan kembali sebagai bendesa pada 27 Mei 2013.
“Memang aneh, mereka (Prof Widnya Cs) mengaku bertindak berdasarkan awig-awig 2007, namun tidak mengakui keputusan sabha desa yang juga atas pertimbangan awig-awig tersebut,” ujar Wiguna.
Ditemui terpisah, Drs I Made Karim, Ketua MMDP (Majelis Madya Desa Pakraman) Kota Denpasar, sependapat jika poin dalam awig-awig Desa Pakraman Serangan tahun 2007 itu perlu dipertimbangkan. Atas dasar itu juga dirinya atas nama lembaga mengirimkan surat tertanggal 14 Desember 2013. Isi surat itu mengharapkan agar konflik yang terjadi di Desa Adat Serangan diselesaikan secara bijaksana alias tidak muncul menjadi kasus hingga mencoreng Kota Denpasar.
“Kami telah bersurat supaya kasus di Serangan itu diselesaikan secara baik-baik. Paos 11 ayat 1 yang menjadi akar perdebatan agar direnungkan sebijaksana mungkin,” ujar Karim.
Sayang, perihal surat yang dikeluarkan pihak MMDP Kota Denpasar itu bukan perintah untuk menyelesaikan kasus dan mempertimbangkan poin pada awig-awig, melainkan perihal tertulis Pelaksanaan Pemilihan Bendesa Serangan. Atas terbitnya surat itulah pihak Prof Widnya Cs beranggapan bahwa MMDP Kota Denpasar memberi perintah untuk dilaksanakannya pemilihan bendesa.
“Atas dasar penunjukan itu, kemudian kami melakukan sosialisasi dan koordinasi terhadap seluruh masyarakat Serangan. Tujuannya supaya ketika proses pemilihan digelar dapat berjalan dengan baik dan benar,” ujar Widnya ditemui usai pemilihan bendesa.
Selain Wiguna, I Ketut Arya Saputra ST selaku Penua Sabha Desa Pakraman Serangan turut mengklaim bahwa pemilihan yang dilakukan kelompok Professor Widnya itu tidak benar, melanggar aturan seperti yang tertuang dalam Awig-Awig Desa Pakraman Serangan tahun 2007. Apalagi, Professor Widnya yang mengaku sebagai Ketua Kertha Desa Desa Pakraman Serangan itu telah diberhentikan dari jabatan sejak 28 April 2014. Bahkan pemberhentiannya dilakukan secara resmi melalui surat bernomor 039/DPS/IV/2014 tanggal 28 April 2014, dengan alasan yang bersangkutan diangap tidak konsisten.
            “Yang kami khawatirkan, pasca pemilihan ini yang memicu terjadinya pertikaian. Antar teman, tetangga bahkan antar saudara terjadi perpecahan. Itu sesungguhnya yang kami pikirkan. Dan majelis madya seharusnya bijak menyikapi kondisi ini,” ujar Arya Saputra diamini puluhan warga Serangan, termasuk Bendesa, Mudana Wiguna. (F.915) majalah fakta online

No comments:

Post a Comment