Wednesday, June 18, 2014

SURABAYA RAYA : WARTAWAN 3 JAMAN TERIMA PENGHARGAAN MURI

PERPUSTAKAAN Medayu Agung, persisnya berlokasi di Jalan Medayu Selatan 42-44 Rungkut, Surabaya, Rabu (14/5), kelihatan semarak. Masalahnya, perpustakaan milik Oei Hiem Hwie, yang biasa disapa Pak Hwie, itu kedatangan utusan dari Museum MURI untuk menyerahkan penghargaan pada Pak Hwie (76), wartawan 3 jaman yang pernah dibuang ke Pulau Buru oleh Belanda.
Hepi Ichwan Bachtiar yang diikuti rombongan, dipercaya oleh Jaya Suprana, Direktur MURI, untuk menyerahkan piagam penghargaan yang dibalut dengan pigura eksklusif. Dalam piagam tersebut terbaca “Piagam Penghargaan Museum Rekor Dunia-Indonesia. No.6459/R.MURI/V/2014. Disampaikan kepada Oei Him Hwie Atas Rekor Kolektor Surat Kabar Terlengkap Sejak Awal Terbit”.
Penghargaan yang diserahkan oleh Hepi Ichwan Bachtiar itu terlihat ditandatangani oleh Jaya Suprana di Semarang pada 1 Mei 2014, Ketua Umum sekaligus Direktur MURI. Untuk bisa dicatat di buku besar yang dilanjutkan dengan pemberian penghargaan ini, menurut Pak Hepi, nama panggilan akrab Hepi Ichwan Bachtiar, perlu penelitian cukup lama, apakah seseorang itu layak dicatat dalam rekor MURI.
Seperti diketahui bahwa Pak Hwie mengoleksi beberapa Surat Kabar yang terbit di tahun 1940-an hingga terbitan tahun 2014 ini.  Juga mengoleksi Majalah yang terbit mulai tahun 1948-2014. Bukan itu saja, buku-buku kuno juga tersimpan di sana. Saking lamanya dimakan usia, sampai kertasnya berwarna kekuningan dan rentan hancur bila jatuh. “Agar tidak disentuh pengunjung harus diletakkan dalam etalase,” kata Pak Hwie kepada para wartawan. 
Ia menjelaskan bahwa buku kuno tersebut di antaranya Oud Batavia dicetak tahun 1935 karangan F De Haan, Oud Surabaia yang dicetak tahun 1932. Dan lebih kuno lagi adalah Staatblad cetakan tahun 1891 dan tahun 1893 serta ratusan buku kuno lainnya.
Di samping itu ada naskah asli tulisan tangan Pramoedya Ananta Toer berjudul “Bumi Manusia” dan “Diatas Lumpur”. Dua tulisan tersebut tidak dicetak secara luas akan tetapi dicetak menjadi beberapa buku saja dengan cetak stensilan. Setelah dicetak selanjutnya dijilid dengan cara tradisionil. Yakni, dilem dengan sagu terus ditindih di ranjang tempat tempat tidur agar benar-benar lengket. Sebagai kenangan, mesin stensil tersebut juga disimpan di Perpustakaan Medayu Agung.
Dijelaskan Pak Hwie bahwa sewaktu menulis naskah maupun mencetak dengan stensil serta menjilid, dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. “Saya bersyukur bisa menyelamatkan naskah tersebut bahkan berhasil menjilidnya,” kata Pak Hwie sambil menunjukkan naskah asli yang disimpan dalam etalase.
Yang perlu dicatat juga bahwa hasil koleksinya pernah ditawar seseorang dari Negara Australia sebesar Rp 1 miliar.  Mantan Wartawan Koran Terompet Masyarakat ini sempat tergiur dengan penawaran yang sangat aduhai tersebut. Akan tetapi setelah berpikir ke depan untuk kepentingan pendidikan dan ingat pesan Presiden RI 1, Soekarno, yang dikenal dengan “JASMERAH” kepanjangan dari Jangan Melupakan Sejarah, maka tawaran tersebut ditolaknya.
            Kini koleksinya diabadikan dalam Perpustakaan Medayu Agung. Rupanya perpustakaan langka tersebut bergaung sampai di telinga Jaya Suprana, Direktur MURI. Hingga akhirnya pada 14 Mei 2014 Pak Hwie mendapat penghargaan dari MURI yang diserahkan oleh Hepi Ichwan Bachtiar, keluarga besar Jaya Suprana, seperti disebutkan sebelumnya. (Tim) majalah fakta online
Pak Hwie saat menerima penghargaan MURI dari Hepi Ichwan Bachtiar

No comments:

Post a Comment