Friday, August 1, 2014

LINTAS BANDUNG : OKNUM POLRESTA SUKABUMI LECEHKAN MOU PERADI DENGAN KAPOLRI

HERI Prabu (34), penduduk Kolonel Masturi Cimahi yang pernah menjadi aktor sinetron Jaka Sembung, diduga menipu mertuanya, H Lili (59), pengusaha bus Madona trayek Bandung Cililin dan Garut. Ia yang sudah punya istri Sri Kuntari SSos menikah lagi dengan Angel (15), penduduk Cisaat, Sukabumi, siswi MTs Negeri Kota Sukabumi. Ia pun sempat menjadi buronan Polda Jabar.
Kemarin oleh Pengadilan Negeri (PN) Cibadak, ia dalam kasus lain divonis 30 bulan. Lalu banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung yang ternyata putusannya menguatkan putusan PN Cibadak. Kemudian ia kasasi ke Mahkamah Agung RI yang putusannya juga menguatkan putusan PT Bandung, yang menyatakan ia terbukti melakukan penipuan dan penggelapan mobil Avanza milik Yadi dengan kerugian Rp 300 juta berikut uang pinjaman Rp 50 juta. Perkara ini ditangani oleh Wijaya SH, Advokat Peradi Cabang Bandung, dengan biaya honorarium Rp 50 juta tapi dibayar Rp 5 juta dengan alasan bapak dan ibunya sedang sakit keras.
            Merasa tidak puas terhadap putusan MA, Heri Prabu yang merasa punya kenalan Iptu Dodi, Kanit Serse Polsek Cisaat, Polres Sukabumi, lalu membuat laporan polisi seolah-olah ia ditipu oleh Advokat Wijaya SH. Buntutnya, pada Minggu kemarin, tanpa ada pemanggilan lebih dulu terhadap Advokat Wijaya SH langsung dilakukan penangkapan di kantornya, Jalan Caringin, Bandung, dengan membawa anggota 6 orang memakai kendaraan Kijang F 1223 BB. Akan tetapi Advokat Wijaya SH saat itu sedang tidak ada di tempat karena mengantar berobat ke luar negeri, yang ada hanya stafnya, Advokat Abdurahman SH. Iptu Dodi berpesan apabila perkaranya ingin beres harus menyediakan uang sebesar Rp 25 juta. Karena permintaannya tersebut tidak dipenuhi maka hampir setiap hari Kantor Advokat Wijaya SH ditongkrongi polisi secara bergantian seperti petugas Densus nyanggong teroris saja.
Ketua Dewan Kehormatan Peradi Pusat, Maruli Simorangkir SH MH, didampingi Sekjen Peradi, Advokat Ardadam Achyar SH MH, sangat menyayangkan kejadian itu. “Oknum polisi itu seharusnya mengetahui bahwa anggota Peradi mempunyai hak imunitas (kekebalan hukum) yang diatur dalam pasal 16 UU No.18 Tahun 2003 yang memberikan perlindungan kepada advokat yang menjalankan profesinya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana”.
Ketentuan itu pun kemudian dipertegas lagi dalam nota kesepakatan (MoU) antara Kapolri dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) tertanggal 27 Februari 2012 bahwa baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka harus dilakukan pemanggilan melalui DPN atau Cabang keberadaan si advokat. “Yang menjadi ganjil, seharusnya 3 kali pemanggilan berturut-turut tidak hadir baru diadakan penangkapan dikarenakan panggilan tidak diindahkan oleh tersangka. Bukannya langsung ditangkap seperti itu. Ini namanya penangkapan semena-mena, melecehkan KUHAP dan Nota Kesepakatan Peradi dengan Kapolri tertanggal 27 Februari 2012. Advokat itu mempunyai kode etik sama dengan polisi, kalau advokat diatur dalam UU No.18 Tahun 2013 tentang advokat yang memuat imunitas. Sedangkan kalau polisi mempunyai UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri. Negara kita negara hukum yang berlandaskan kepada ketentuan pasal 33 UUD 1945 yaitu azas mufakat harusnya saling menghargai sesama penegak hukum. Kalau salah, uji material melalui kode etik masing-masing, jangan sampai terjadi benturan antara advokat dan polisi,” kata Abdurahman di ruang kerjanya sewaktu ditemui FAKTA.
            Ketua Peradi Pusat, Maruli Simorangkir, mengharapkan polisi jangan main tangkap advokat, lebih baik serahkan kepada Kantor Cabang Peradi setempat tentang pelanggaran yang telah dilakukan oleh advokat atau bisa langsung ke DPP Peradi.         Menurut Advokat Wijaya SH, permasalahan ini akan diserahkan kepada Kapolda Jabar, Irjen Pol M Irawan, dan Kapolri, Jenderal Sutarman, supaya kasus pelecehan profesi advokat ini segera ditangani agar tidak menjadi preseden buruk di dunia hukum kita. (F.481) � � p �O# % pal) dengan PT BBI yang diwakili H Suriansyah selaku Dirut dalam hal ini sebagai pihak kedua (penyewa).    

Dengan demikian secara formal, sejak tanggal 03 Februari 2014 kapal Khatulistiwa berada dalam kendali dan penguasaan PT BBI khususnya operasional lapangan sesuai dengan kontrak dimaksud. Perizinan, muatan, dan lain-lain menjadi tanggung jawab PT BBI, sedangkan PT RUB hanya bertanggung jawab mengenai kelayakan melaut atas kapalnya. Dan, pada tanggal 28 Maret 2014 itu untuk pertama kalinya kapal Khatulistiwa beroperasi dan langsung ditangkap Polair.
Terlepas dalam kedudukannya selaku Dirut PT RUB, secara pribadi Rio sudah mengenal Nurmualip, ditambah terjalin dalam hubungan bisnis ini kedudukannya sebagai investor dan penyandang dana dari PT BBI. Rio juga mengenal beberapa kapten kapal yang bisa menjual BBM di laut. Di lain pihak Nurmualip mencari dan akan membeli BBM di bawah bendera PT BBI. Pada tanggal 27 Maret 2014, Nurmualip melalui istrinya mentranfer dana pada rekening Rio sebesar Rp 500 juta guna keperluan membeli BBM tersebut. Kemudian Rio langsung meneruskan dana tersebut kepada Denny Arifin selaku pengawas PT BBI yang saat itu ikut di kapal dan keesokan harinya berlayar menuju kapal yang akan menjual BBM dan berhasil membeli 64.600 liter solar. Namun dalam perjalanan pulang menuju pangkalan PT BBI disergap oleh Polair. Anehnya, setelah kurang lebih 10 hari kapalnya ditahan di PT Samudera Cendana, plang PT BBI lenyap entah ke mana dan sebelum itu solar isi lambung Khatulistiwa sebanyak 64.600 liter dipindahkan ke kapal LCT Mandala.
Dari kontruksi kejadian dan hubungan hukum, formal maupun non formal, sebagaimana diuraikan di atas, dapat ditarik benang merah dalam bisnis migas ini sebagai berikut; H Suriansyah dan Nurmualip dengan bendera PT BBI adalah penyewa kapal sekaligus penyandang dana pembelian BBM di laut, sedangkan Rio secara pribadi hanya sebagai tempat transit dana PT BBI karena pengawas PT BBI atau kapten kapal tidak memiliki rekening dengan jumlah mutasi yang besar. Denny Arifin selaku pengawas PT BBI adalah eksekutor yang membeli dan membayar BBM, sementara kapten kapal Khatulistiwa semata-mata hanya menjalankan dan memelihara kapal saja. Jadi, cukup beralasan jika pasal yang diterapkan adalah pasal 23 jo pasal 53 UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas dan pasal 480 jo 55 dan 56 KUHP, tinggal mengkualifikasi perbuatan masing-masing personil seperti yang diajarkan pada teori deelneming.
Dan, sudah cukup jelas peranan masing-masing personil dalam peristiwa hukum ini, maka pertanyaannya adalah mengapa H Suriansyah dan Nurmualip yang merupakan otak atau intelectual dader tidak dijadikan tersangka ? Maka tidak berlebihan jika bisa ditarik kesimpulan jika Rio merupakan kambing hitam. Jika jawaban pidananya hanya sampai pada Rio, maka loloslah intelektual dadernya dan Rio-lah yang akan menanggung semuanya.
FAKTA mengirim surat konfirmasi ke PT BBI lewat email, namun sampai saat ini tidak ada balasan. Begitu juga ketika konfirmasi ke H Suriansyah lewat SMS, tidak mendapat jawaban pula. (F.956) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment