Friday, November 7, 2014

LINTAS LOMBOK : DINAS PENDAPATAN DAPUR PEMBANGUNAN

UNTUK menampung perubahan tatanan dan perilaku ekonomi masyarakat dengan tetap berpedoman pada tujuan pembangunan di bidang ekonomi yang bertumpu pada kemandirian bangsa, maka untuk membiayai pembangunan tersebut berasal dari penerimaan pajak.
Kabupaten Lombok Tengah merupakan teras dari Provinsi Nusa Tenggara Barat, keberadaan Bandara Internasional Lombok (BIL)  di Lombok Tengah sebagai pintu masuk ke Pulau Seribu Masjid, semua faktor pendukung pembangunan ekonomi untuk kesejateraan masyarakat terus ditingkatkan, walaupun dalam beberapa kegiatan pembangunan harus melalui proses pinjaman.
Biaya pembangunan yang melalui proses pinjaman tersebut mendapat kritikan dari salah satu politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan anggota DPRD Provinsi NTB 4 periode sekaligus putra daerah Lombok Tengah, Drs H RuslanTurmuzi, yang mengungkapkan, kenapa harus berhutang untuk membangun, uang negara di pusat kurang lebih Rp 1.400 triliun, tinggal bagaimana kita kemas Kabupaten Lombok Tengah  untuk mempunyai nilai jual sehingga kita bisa mendapatkan dana APBN untuk pembangunan. Ke pemerintah pusat itu jangan hanya membawa diri ,tapi harus punya akses dan daya lobi yang tinggi. Ini bukan pendidikan yang baik untuk masyarakat Lombok Tengah dalam membangun dengan cara berhutang”.
Saat dikonfirmasi FAKTA, Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Lombok Tengah, Drs Lalu Karyawan MSi, mengungkapkan, pendapatan asli daerah (PAD) Lombok Tengah untuk 4 tahun terakhir stabil, bahkan cenderung terus mengalami peningkatan. Hal ini tidak terlepas dari peran aktif masyarakat setelah melalui proses sosialisasi yang kontinyu dan tidak terlepas pula dari dukungan para Lurah dan Kepala Desa. Dari 5 sumber pajak yaitu Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Pendapatan Asli Daerah, Hasil Perusahaan & Pengelolaan Daerah yang dipisahkan dan pendapatan asli daerah yang sah, pada tahun 2009 terealisasi 81,11 %, tahun 2010 terealisasi 65,44 %, tahun 2011 terealisasi 88,88 %, tahun 2012 terealisasi 69,51 %, tahun 2013 terealisasi 107,59 %. Bahkan untuk tahun 2014 yang sedang berjalan ini sudah mencapai 94,83 % sehingga penilaian dari Menteri Keuangan terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lombok Tengah adalah positif. “Dan kita (Pemda Lombok Tengah) mendapatkan insentif berupa 1 unit  kendaraan operasional. Saya sendiri selaku Kepala Dinas hanya memenej dan tidak terlibat langsung dalam hal keuangan, karena semua pendapatan sebagai kas masuk tidak boleh mengendap satu hari pun di kantor ini. Penerimaan sebagai kas masuk pagi sampai siang, sore sudah harus disetor ke Bank NTB. Saya tidak ada beban psikologis dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Dinas Pendapatan,” ungkapnya.
Disinggung mengenai penerapan terhadap peralihan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2002 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan dimulai pada tahun  2011 wewenang pusat dilimpahkan kepada Pemerintah Kabupaten melalui Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2010, Lalu Karyawan mengungkapkan bahwa Dinas Pendapatan akan mendapatkan pajak  BPHTB di saat masyarakat akan mengurus untuk memperoleh haknya secara legal. “Tapi sebaliknya kalau tidak diurus oleh pemiliknya kita tidak akan mendapatkan pajak BPHTB  tersebut. Adapun cara perhitungannya adalah Nilai Tanah – Rp 60.000.000 X 5%, jadi kita (Dispenda) akan melihat nilai transaksi jual beli yang dilakukan antara penjual dan pembeli. Namun kadang tidak masuk akal, pada kawasan ekonomi potensial masyarakat melakukan transaksi melalui dokumen yang diserahkan sebagai syarat pengurusan BPHTB tertera Rp 1.000.000,-/are, sehingga kita berpedoman pada nilai pasar yang lebih rasional dan ditambah dengan penilaian tim internal Dispenda yang terdiri dari Bidang PBB & BPHTB, Bidang Retribusi Pendapatan Non PBB yang diketuai oleh Sekretaris sebagai tim penilai kewajaran harga transaksi. Hingga minggu ke-III bulan September 2014 pajak BPHTB mencapai 71,04 % dari target  Rp 4.250.000.000,- atau baru terealisaisi sejumlah Rp 3.019.076.025”.
Disinggung lagi oleh FAKTA soal tidak digunakannya Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang mempunyai angka pasti dalam pengenaan pajak BPHTB, Lalu Karyawan menambahkan bahwa NJOP dinilai rendah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat sekarang ini sehingga perolehan pajak BPHTB sulit akan mencapai target. “Tetapi kami akan mengusulkan kepada unsur yang terkait yaitu BPN dan KPP Pratama untuk menegosiasi NJOP  pada angka yang wajar”.
Di lain pihak, Muhamad, salah satu pekerja sosial (LSM), saat dimintai tanggapannya oleh FAKTA, menilai bahwa anggota DPRD Lombok Tengah yang mempunyai salah satu fungsi sebagai legislasi atau perundang-undangan adalah sekedar duduk manis untuk mengcopy paste UU No. 20 Tahun 2000 yang sebelumnya adalah kewenangan pusat melalui badan/lembaga vertikal yang ada di kabupaten yaitu BPN dan diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten dengan Peraturan Daerah No. 14 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah. Salah satunya adalah Pajak BPHTB tersebut. Walaupun saat ini Dispenda bergerak melakukan pemungutan pajak BPHTB, itu sama dengan telah berani ambil resiko hukum maupun unsur hilangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Seharusnya Dispenda diproteksi dengan Peraturan Daerah yang disesuaikan dengan hukum sosial kemasyarakatan setempat, minimal Peraturan Bupati sehingga asas keadilan, kepastian hukum dan kesederhanaan dalam pelayanan publik tercapai. Dengan kondisi sekarang ini antara tim yang dibentuk sendiri oleh Dispenda dan masyarakat tetap ada peluang main kucing-kucingan, maka tentu akan ada tikus-tikus kantor”.
Ditambahkan lagi oleh Muhamad, salah satu yang menjadi sorotan serius dalam Peraturan Daerah No.14 tersebut adalah pada bagian Kedua Dasar Pengenaan Tarif dan Cara Penghitungan Pajak, Pasal 68 ayat 2 yaitu nilai perolehan pajak BPHTB point C yaitu Hibah dan point D yaitu hibah wasiat serta point E adalah Waris. Logika berpikir yang sehat dari ketiga poin tersebut adalah perolehannya dengan pemberian bukan jual beli ataupun tukar-menukar (transaksi ) tapi penerapannya diasumsikan oleh Pemerintah (Dispenda) sebagai jual beli sehingga perhitungan pengenaan pajak BPHTB-nya adalah nilai pasar, maka lahirlah negosiasi antara masyarakat selaku pemohon dengan pemerintah yaitu Dispenda.
“Jadi, kepastian hukumnya di mana ? Dalam permasalahan ini saya sebagai masyarakat Lombok Tengah mendorong pemerintah melalui Dispenda, BPN dan KPP Pratama serta unsur pemerintah lainnya untuk segera merasionalisasikan NJOP sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB seperti pola yang dilakukan oleh BPN selaku lembaga vertikal sebelum pajak BPHTB ini dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten. Dan, Bupati Lombok Tengah hendaknya segera menerbitkan Peraturan Bupati sebelum Peraturan Daerah tersebut direvisi oleh DPRD  Lombok Tengah,” harap Muhamad.
Mamiq Arkom, warga kota Praya, dalam pengakuannya kepada FAKTA , pernah menjadi salah satu korban pengurusan pajak BPHTB dengan birokrasi yang panjang dan harus berdebat dengan pemerintah (Dispenda). Ia merasa diperlakukan dengan ketidakjelasan walaupun telah diberikan penjelasan dasar hukum melalui Peraturan Daerah oleh pegawai Dispenda. Mamiq Arkom dalam keterangannya kepada FAKTA, sudah mengurus pajak BPHTB waris, dasar pengenaaan pajak BPHTB-nya adalah nilai pasar.                       “Seolah-olah saya melakukan jual beli dengan almarhum orangtua saya, sehingga muncullah angka yang harus saya bayar ratusan juta rupiah. Tetapi setelah melalui proses negosiasi, angka tersebut mengecil menjadi belasan juta rupiah,” ungkapnya.
Mamiq Arkom menambahkan, kalau tidak mau terkejut dan lebih mudah, pengurusan pajak BPHTB melalui notaris saja. Sebab biasanya pegawai Dispenda lebih familiar dengan staf notaries. “Dan, menurut saya, itu bisa diatur. Jadi, Peraturan Daerah itu berlaku bagi masyarakat yang buta huruf,” sentilnya. (F.957) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment