Siap
bertanggung jawab. Dihadapkan pula pada kasus dugaan korupsi mobil listrik dan
cetak sawah fiktif di Ketapang, Kalbar.
“Saya
ambil tanggung jawab ini”
|
TIDAK percaya tapi fakta.
Sosok yang selama ini kita kenal bersih, jujur, tegas, tiba-tiba jadi tersangka
korupsi. Ya, itulah yang dialami Dahlan Iskan. Pada Jumat, 5 Juni 2015, Mantan
Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu ditetapkan oleh Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek pembangunan 21
gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun. Dahlan
ditetapkan sebagai tersangka dalam posisinya sebagai kuasa pengguna anggaran (KPA)
dalam kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk tersebut.
Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI
Jakarta, Adi Toegarisman SH, penyidik telah mengantongi dua alat bukti untuk
menjerat Dahlan sebagai tersangka dalam proyek pembangunan gardu induk PLN
Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun 2011-2013 tersebut. Namun, dia tidak mau
menyebutkan dua alat bukti tersebut. Dia hanya menjelaskan, ada dua rumusan
pokok yang digunakan untuk menjerat Dahlan terkait dengan posisinya sebagai
kuasa pengguna anggaran (KPA) saat menjabat Dirut PLN.
Rumusan pertama adalah penganggaran proyek
yang dilakukan secara multiyear. Penganggaran
secara multiyear memang dibenarkan.
Namun, menurut versi Kajati DKI, kesalahan terletak pada tanah untuk
pembangunan gardu induk yang belum siap seluruhnya. ’’Dari 21 gardu yang akan
dibangun, tanahnya yang siap dengan status milik PLN hanya empat lokasi,’’
jelas pejabat asal Madura itu.
Rumusan kedua terkait dengan pembayaran
pengerjaan proyek dengan sistem material
on site. Menurut kajati, hal tersebut tidak bisa dibenarkan. ’’Itu proyek
konstruksi. Harusnya pembayarannya sesuai penyelesaian proyeknya. Bukan atas
pembelian barang yang dilakukan rekanan,’’ terang Adi.
Setelah menetapkan Dahlan sebagai tersangka
lewat Sprindik (Surat Perintah Penyidikan) Nomor 752, kajati langsung mencegah
mantan menteri BUMN tersebut bepergian ke luar negeri. Meski begitu, mantan
Kapuspenkum Kejaksaan Agung itu menegaskan belum akan menahan Dahlan. Sebab,
Dahlan dinilai sangat kooperatif. ’’Penahanan seseorang itu ada aturannya. Saat
ini, penyidik merasa belum perlu menahan DI,’’ katanya.
Dahlan memang sempat dua kali tidak bisa
memenuhi panggilan penyidik karena sejak Maret lalu berada di Amerika Serikat.
Begitu tiba di Indonesia, dia langsung datang ke Kejati DKI. Menurut Adi,
alasan ketidakhadiran Dahlan masih bisa dibenarkan. ’’Kita lihat sendiri, dalam
dua hari ini kan beliau kooperatif,’’ ujar pejabat kelahiran 28 Februari 1960
itu.
Dahlan sendiri kepada pers
menyatakan siap bertanggung jawab. "Penetapan saya sebagai tersangka ini
saya terima dengan penuh tanggung jawab. Saya ambil tanggung jawab ini karena
sebagai KPA saya memang harus tanggung jawab atas semua proyek itu. Termasuk
apa pun yang dilakukan anak buah," kata Dahlan dalam keterangan pers yang
diedarkan kepada wartawan seusai diperiksa Kejati DKI Jakarta, Jumat (5/6).
Dahlan akan mempelajari proyek-proyek gardu
induk tersebut setelah lebih dari tiga tahun tidak mengikuti perkembangan
proyek tersebut. Ia berharap direksi PLN memperkenankannya melihat
dokumen-dokumen proyek itu karena ia sama sekali tidak memiliki satu pun
dokumen mengenai PLN.
Tapi, yang jelas, penyidik Kejati
DKI sebelumnya telah menahan 9 dari 15 orang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka korupsi proyek pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara PT PLN senilai Rp 1,06 triliun ini di Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang,
Jakarta Timur. Para pegawai PLN itu berperan sebagai panitia pemeriksa barang
proyek. Mereka dianggap lalai karena meneken berita acara serah-terima hasil
pekerjaan yang tak sesuai dengan kenyataan.
Pihak Kejati DKI Jakarta menangani kasus
dugaan korupsi pengadaan gardu induk PLN di Jawa, Bali dan Nusra ini sejak 9
Juni 2014. Waktu itu ditetapkan dua tersangka yakni Yusuf Mirand (General
Manajer Pikitring Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) dan Ferdinand Rambing Dien
(Direktur PT Hifemerindo Yakin Mandiri/HYM). Menurut Kajati DKI Jakarta, Adi
Toegarisman SH, Yusuf bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Sedangkan tersangka Ferdinand Rambing Dien selaku penyedia barang dan jasa
proyek yang nominalnya diperkirakan mencapai Rp 1 triliun.
Kemudian pada 16 Agustus 2014 Kajati Adi
Toegarisman menjelaskan bahwa pihaknya tidak sebatas menetapkan 2 tersangka,
Yusuf dan Ferdinand. Pihaknya juga tengah membidik keterlibatan pihak lain. Adi
mengaku, pihaknya baru menetapkan 2 tersangka dalam kasus ini, karena baru
menemukan 2 alat bukti permulaan yang cukup terkait dugaan unsur korupsi. Dari
hasil penyelidikan, ternyata dalam proyek itu 1 gardu nilainya sekitar Rp 72
miliar. Jadi, kalau 21 gardu nilainya sekitar Rp 1 triliun. Tapi ini multiyear, 2011, 2012, dan 2013. Hingga
Juni 2013 yang menjadi batas akhir pengerjaan proyek tersebut, ternyata belum
juga rampung. Padahal negara sudah mengeluarkan dana sekitar Rp 36 miliar untuk
proyek 3 gardu PLN di Jati Rangon II, Jatiluhur Baru, dan Cimanggis II.
Pada 29 Oktober 2014 Kajati Adi Toegarisman
mengatakan bahwa penyidik sudah terbang ke Bali untuk mendalami dugaan korupsi
gardu PLN tersebut. Adi menuturkan, pembangunan gardu induk itu direncanakan dibangun
di 21 titik. Namun kenyataannya yang dikerjakan hanya 18 dan pihaknya
menganggap ada 13 pembangunan gardu itu yang bermasalah.
Setelah
Yusuf dan Ferdinand, kejati juga menetapkan 13 tersangka baru sehingga semuanya
menjadi 15 orang. Ke-13 tersangka baru itu adalah Totot Fregatanto selaku ketua
merangkap anggota Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) untuk Gardu Induk
Jatiluhur dan Jatirangon II, Fauzan Yunas selaku Manajer Unit Pelaksana Kontruksi
(UPK) Jaringan Jawa Bali (JJB) IV Region Jawa Barat, Syaifoel Arief selaku
Manajer Unit Pelaksana Kontruksi (UPK) Jaringan Jawa Bali (JJB) IV Region DKI
Jakarta dan Banten, I Nyoman Sardjana selaku Manajer Kontruksi dan Operasional
Pikitring Jawa Bali, Nusa Tenggara, Egon selaku Dirut PT Arya Sada Perkasa yang
menjadi pelaksana pembangunan Gardu Induk New Sanur, Tanggul Priamandaru selaku
Kuasa Direksi PT Arya Sada Perkasa yang melakukan pekerjaan untuk Gardu Induk
New Sanur Bali, Wiratmoko Setiadji selaku Kuasa Direksi PT ABB Sakti Industri
yang melakukan pembangunan untuk Gardu Induk Kadipaten, Cirebon, Jawa Barat. Yushan
selaku Asisten Engineer Teknik Elektrikal di UPK JJB 2 PT PLN (Persero), Ahmad
Yendra Satriana selaku Deputi Manajer Akuntansi PIKITRING Jawa Bali Nusa
Tenggara PT PLN (Persero), Yuyus Rusyadi Sastra selaku pegawai PLN (Persero)
PIKITRING Jawa Bali, Endy Purwanto selaku pegawai PT PLN (Persero) PIKITRING
Jawa Bali, Arief Susilo Hadi selaku pegawai PT PLN Proring Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta, Hengky Wibowo selaku Kuasa Direksi PT PT ABB Sakti Industri untuk
Gardu Induk Kadipaten. Dengan kata lain, Dahlan Iskan menjadi tersangka yang
ke-16 dalam perkara korupsi pembangunan gardu induk PLN ini.
Soal aliran dana yang diduga dikorupsi,
Kajati DKI Jakarta mengatakan siap menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusurinya. "Ini bagian penyidikan,
tentu nanti kita akan lihat ke sana (menggandeng PPATK). Kami lakukan sesuai
prosedur hukum, untuk menjaga kualitas. Akan kami lakukan secara hukum ketika
itu dibutuhkan," kata Kajati Adi Toegarisman di kantornya, Jalan H R
Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.
Berdasarkan hasil perhitungan Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan DKI Jakarta, kerugian negara akibat
kasus ini diperkirakan sebesar Rp 33,2 miliar. Dan, dalam perkara korupsi ini,
Bos Jawa Pos Group tersebut dijerat dengan pasal 2 dan pasal 3 UU RI No.31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No.20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu Dahlan juga diperiksa penyidik
pidana khusus Kejaksaan Agung RI sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi 16
unit mobil listrik di 3 BUMN senilai Rp 32 miliar. Pasalnya, kasus dugaan
korupsi 16 unit mobil listrik di 3 BUMN ini terjadi saat Dahlan Iskan menjabat
sebagai Menteri BUMN. Dalam kasus ini, Dahlan juga diduga memerintahkan
sejumlah BUMN menjadi sponsor pengadaan mobil listrik itu untuk mendukung
kegiatan operasional Konferensi APEC 2013 di Bali. Namun ternyata mobil
tersebut tidak bisa digunakan alias merugikan keuangan negara pula.
Dalam kasus ini, penyidik pidana khusus
Kejaksaan Agung telah menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni Dirut Perum
Perikanan Indonesia (Perindo), Agus Suherman, dan Direktur PT Sarimas Ahmadi
Pratama, Dasep Ahmadi. Saat kasus dugaan korupsi ini terjadi, tersangka Agus
Suherman menjabat Kepala Bidang PKBL di Kementerian BUMN. Sedangkan tersangka
Dasep Ahmadi merupakan pihak swasta yang mengerjakan pengadaan 16 unit mobil
listrik tersebut.
Hasil penyelidikan tim satgasus, diduga ada
penyimpangan. Sebab, 16 mobil itu tidak dapat digunakan. Selain itu, mobil
tersebut dihibahkan ke UI, ITB, UGM, Universitas Brawijaya, dan Universitas
Riau tanpa ada kerja sama. Penyidik masih terus memeriksa kasus ini dan
mencari alat bukti untuk menetapkan tersangka lain.
Dahlan juga tengah dibidik Bareskrim Polri
terkait kasus jasa konsultasi dan konstruksi cetak sawah oleh Kementerian BUMN
pada 2012-2014 di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Kabareskrim Polri,
Komjen Pol Budi Waseso (Buwas), mengungkapkan, penyidik Dittipikor Bareskrim
Polri saat ini memang masih terus mendalami kasus ini terutama dalam menunjuk
seseorang sebagai tersangka.
Sebelumnya diberitakan Direktorat Tindak
Pidana Korupsi Bareskrim Polri tengah mengusut dugaan korupsi cetak sawah yang
terjadi di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Proyek cetak sawah fiktif itu
merupakan hasil gabungan dari sejumlah perusahaan BUMN yang bernilai Rp 317
miliar. Perusahaan itu antara lain Bank BNI, PT Askes, Pertamina, Pelindo,
Hutama Karya, BRI, dan Perusahaan Gas Negara (PGN).
Dirtipikor Bareskrim Polri, Ahmad Wiyagus,
menjelaskan pelaksanaan konstruksi pencetakan sawah terjadi dalam kurun waktu
2012-2014. Perusahaan-perusahaan BUMN tersebut menunjuk PT Sanghyang Seri
sebagai penggarap sawah. Namun, ternyata pihak Sanghyang Seri melempar kembali
proyek tersebut kepada PT Hutama Karya, PT Indra Karya, PT Brantas Abipraya, PT
Yodya Karya sehingga diduga proyek tersebut fiktif. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment