ANGGOTA Badan Kehormatan DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan, Sri Rahmi, mengatakan, Kode Etik DPRD perlu diperbaharui
mengingat saat ini tidak sesuai lagi dengan payung hukum yang berlaku di
atasnya. “Kode etik yang lama tidak sesuai lagi dengan payung hukum yang berlaku
saat ini dan mestinya diperbaharui,” kata Sri kepada wartawan usai pertemuan BK
di kantor DPRD Sulsel.
Menurut
Sri bahwa kinerja dewan telah memasuki masa triwulan pertama sehingga
diperlukan penekanan terhadap anggota tentang regulasi pengaturan kehadiran rapat
dalam menjalankan fungsinya sebagai anggota dewan, bukan untuk mengurus
bisnisnya di luar untuk kepentingan pribadi masing-masing. “Kasihan masyarakat yang
mengharapkan realisasi janji-janjinya pada saat kampanye dulu ternyata tidak demikian
setelah terpilih”.
Selama
ini BK belum bekerja maksimal karena regulasi dalam aturan yang baru belum dibentuk
sehingga kurang efektif dalam memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar.
Dan selama teriwulan ini belum ada anggota DPRD Propinsi Sulsel yang mendapatkan
sanksi sehingga anggota dewan seenaknya melakukan pelanggaran tentang
kehadirannya di kantor untuk rapat atau sidang. Sehingga BK saat ini tengah melakukan
upaya perbaikan aturan kode etik mengingat yang lama tidak lagi sesuai dengan
aturan yang berlaku di tingkat majelis kehormatan di DPR RI. Pada prinsipnya
kalau ada anggota dewan merasa bosan atau malas masuk kantor akan datang, baca
surat kabar, keluar dan tak akan kembali lagi.
Namun
dirinya mengakui belum menelaah lebih jauh perbedaan antara kode etik lama dan
kode etik yang baru. “Untuk memahami secara detail kami akan lakukan konfrimasi
aturan ini di Majelis Kehormatan dan Badan Kehormatan”.
Sementara
Wakil Ketua BK, Anas Hasan, pada kesempatan itu menyatakan, agenda utama
pertemuan tersebut membahas Pembenahan Kode Etik. “Agendanya memang membenahi
Kode Etik. Saya sudah mengusulkan kepada Sekretaris Dewan agar bisa dikonfirmasikan
dengan Kode Etik di DPR RI. Sekwan menyetujui sepanjang keputusan BK bisa difasilitasi”.
Dalam
aturan Kode Etik yang lama, kata Anas, disebutkan bila seorang Anggota Dewan
tidak hadir dalam rapat enam kali berturut-turut maka diberikan sanksi paling
tinggi diberhentikan. Itu merupakan hukuman yang setimpal dengan harapan tidak
ada lagi anggota dewan yang menerima gaji buta dari pajak masyarakat.
Tetapi
aturan itu mempunyai celah karena bisa saja anggota dewan tidak hadir secara
acak dan tidak berturut-turut sehingga tidak bisa diberikan sanksi. Apalagi
yang bersangkutan sangat arogansi ketika diberikan sanksi. Bahkan dia
menganggap dirinyalah yang paling berkuasa sehingga merasa tidak ada lagi yang
bisa mengatur dirinya.
Direktur Kopel Sulawesi Selatan,
Muhammad Akil Rahman, mengatakan, BK mestinya proaktif dalam melihat aturan
tersebut karena hal itu bisa dijadikan celah bagi anggota dewan yang malas tapi
rakus. Padahal mereka sudah dapat fasilitas seperti tunjangan perumahan dan
uang lelah agar rajin mengikuti rapat jadi tidak ada alasan mereka tidak ikut rapat.
(Tim) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment