Thursday, July 9, 2015

OPINI : PENGUSAHA MASIH SAJA ‘LECEHKAN’ UU KETENAGAKERJAAN


KETIKA orang mau bekerja yang diinginkan adalah upah atau gaji yang senilai atau sedikit lebih dengan kebutuhannya sehari-hari. Apabila di suatu daerah sudah menetapkan upah minimum berarti di situlah sebuah kebutuhan harus dipenuhi. Perusahaan yang ekonominya baik maka tidak menemui masalah penggajian. Permasalahan akan datang jika perusahaan sedang menghadapi kesulitan untuk menggaji karyawannya. Namun perusahaan itu sendiri tidak mau menghentikan kegiatan usahanya.
Menilik definisi pekerja seperti yang terdapat dalam UU No.13/2003 pasal 1 angka 3 ; Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain’. Kemudian pasal 88-nya ;
(1)  Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2)  Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana
      dimaksud dalam ayat (2) meliputi :
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar
    pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f.  bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
     ayat (3) huruf a, berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
     memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mengurus apabila terjadi keterlambatan gaji dan atau tindak pidana lain seperti tidak dibayar sesuai dengan UMK atau juga dana Jamsostek yang tidak dibayarkan ke kantor Jamsostek oleh perusahaan maka karyawan akan menempuh hal-hal seperti di bawah ini :
1.    Jalur Bipartit, adalah suatu perundingan antara pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, perundingan ini berdasarkan pasal 3 UUPPHI selama 30 hari. Apabila perundingan ini gagal maka akan dilanjutkan melalui jalur Tripartit, yaitu dengan mendaftarkan ke suku dinas atau dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi di wilayah kabupaten atau kota setempat.
2.    Jalur Tripartit, adalah penyelesaian dengan mediator dari Dinas Nakertrans, yang diatur berdasarkan pasal 4 UU PPHI. Apabila perundingan ini mendapatkan mufakat maka kesepakatan akan dituangkan pada suatu Perjanjian Bersama (pasal 7 UUPPHI), jika tidak mencapai mufakat maka akan ditempuh melalui gugatan perselisihan pada Pengadilan Hubungan Industrial.
3.    Jalur Pengadilan Hubungan Industrial adalah jalur yang ditempuh oleh pekerja/pengusaha melalui mekanisme gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial yang mewilayahi tempat kerja. Penyelesaian melalui jenis ini terdapat dalam pasal 5 UUPPHI.
Dalam pasal 95 UU No.13/2003 tentang Tenaga Kerja, pemerintah mengatur pengenaan denda kepada perusahaan dan/atau pekerja dalam pembayaran upah.
1.    Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari di mana seharusnya upah di bayar, upah tersebut ditambah dengan 5% (lima persen) untuk tiap hari keterlambatan.
2.    Sesudah hari kedelapan tambahan itu menjadi 1 % (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya dibayarkan.
3.    Apabila sesudah sebulan upah masih belum dibayarkan, maka di samping berkewajiban untuk membayar bunga sebesar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
Penyimpangan yang mengurangi ketentuan dalam pasal ini adalah batal menurut hukum.
Oleh karena itu UPAH adalah sesuatu HAK yang wajib diperoleh oleh PEKERJA yang sudah melakukan pekerjaannya sesuai dengan kontrak kerja baik lisan maupun tulisan.
Namun ternyata banyak sekali yang dianggap sebagai kesulitan-kesulitan bagi pekerja untuk mengurus apabila terjadi keterlambatan gaji, tidak dibayar sesuai dengan upah minimum rata-rata, jika upah lemburnya tidak dibayarkan atau jika ada hal lain yang berhubungan dengan nyangkutnya uang pekerja pada institusi tingkat lebih tinggi.
Mengacu pada kasus yang terjadi pada perusahaan perkebunan teh di Cianjur, karyawannya tidak diberikan upah hingga tiga bulan lebih, itu sudah melanggar pasal 95 UU No.13/2003. dan tidak diberikan upah sesuai dengan UMK yang ditetapkan Rp 1.648.000.000,- per bulan  sesuai dengan SK No. 561/kep.1746-bangsos/2014. Karena itu pengusaha yang tidak membayar gaji sesuai UMK seharusnya dikenakan sanksi pidana atau denda. Hal ini diatur dalam pasal 185 ayat (1) UU No.13/2003. “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), pasal 69 ayat (2), pasal 80, pasal 82, pasal 90 ayat (1), pasal 143 dan pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah) dan yang paling banyak sebagaimana dimaksud dalam ayat (21) merupakan tindak pidana kejahatan”.
Dalam hal ini karyawan harus mengurusnya dengan tahapan yang sangat panjang dan rumit dan dengan waktu yang sangat lama. Padahal perut jika tiga bulan tidak diberikan gaji pasti sudah tidak ada kesabaran lagi, ditambah lagi untuk mengurus hak upah ini membutuhkan dana yang tidak sedikit pula. Mengurus hak gajinya keluar saja ternyata sulitnya setengah mati, tidak semudah ketika pengusaha menghitung kelebihan/keuntungan usahanya. Memang, sudah banyak yang berhasil dalam melakukan tuntutan hak ini, namun apabila hal ini terjadi pada pekerja yang berpendidikan rendah, seperti apabila di suatu perusahaan yang hampir semua karyawannya hanya tamatan SD, tentu akan kesulitan menuntut hak-haknya.
Pemerintah harus tanggap terhadap kesulitan rakyatnya, apabila rakyat tidak punya pengetahuan dalam hal hukum akan memakan waktu yang jauh lebih lama lagi. Pengurusan yang memakan waktu  panjang ini   terkadang tidak berhasil mendapatkan tuntutan upahnya, sehingga membuat ciut nyali pekerja untuk maju menuntut haknya. Memang, masalah ini bisa menjadi ajang uji nyali PEKERJA Indonesia yang harus kuat, tabah dan tawakkal serta harus banyak berdoa kepada Tuhan YME.  
Ironisnya, tak sedikit pengusaha yang bergembira jika pekerjanya mengurungkan niat untuk melanjutkan tuntutannya. Karena tidak harus mengeluarkan hak-hak karyawan tersebut. Banyak pengusaha yang malah lebih suka memberikan sodaqohnya kepada pejabat terkait, supaya lebih dekat kepada pejabat tersebut sehingga akan lebih nyaman dan aman dalam melakukan bisnisnya di hari-hari mendatang.   
Pemerintah sudah waktunya mempersempit pengurusan hak pekerja (upah). Seperti yang tertuang pada hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam yang memerintahkan untuk memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari Abdullah bin Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda : “berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR Ibnu Majah, shahih).
Maksud hadist ini adalah bersegeralah menunaikan hak si pekerja setelah selesai pekerjaannya, begitu juga dimaksudkan apabila telah ada perjanjian kesepakatan pemberian gaji tiap bulan.

Di negara Barat, misalkan New Zealand, Australia, mengurus hak pekerja yang nyangkut di institusinya diciptakan dengan sangat sederhana. Misalkan ingin mengambil uang TAX REFUND (uang pengembalian dari kantor pajak), kita cukup membuka website institusi tersebut kemudian mengisi formulir lalu klik kirim, satu hari kemudian dijawab bahwa sudah menerima isi formulir anda, cukup kita menunggu di rumah, satu minggu kemudian ada pemberitahuan bahwa uang anda sudah ditransfer ke rekening anda. Di negara Barat hampir tidak pernah ada keterlambatan gaji, apabila ada keterlambatan gaji mereka mengatasinya tidak lebih dari tiga hari. Itu pun tidak harus berkeliling dari instansi yang satu ke instansi yang lainnya, cukup kasusnya diwebsitekan saja, ditambah datang ke kantor solicitor terdekat, tunggu paling lama satu minggu “dana cair”. Biaya solicitor tidak lebih hanya seperti sodaqoh saja. Viva para pekerja !  web majalah fakta / majalah fakta online
                                                                 Oleh :
Budi S Riyadi.
Kepala Perwakilan Majalah FAKTA Jakarta

No comments:

Post a Comment