Wednesday, September 9, 2015

KORUPSI MEDAN

Gubernur Sumut Diperiksa KPK

Dugaan penyuapan yang dilakukan oleh kantor OC Kaligis
terhadap hakim PTUN Medan terkait dengan perkara korupsi
dana bantuan sosial di Pemprov Sumut yang ditangani Kejaksaan Agung

6 tersangka suap hakim PTUN Medan yang ditahan KPK
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan untuk memeriksa Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, terkait kasus dugaan suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan pada Senin (27/7). Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut akan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka M Yagari Bhastara alias Gerry.
Ini merupakan panggilan ulang yang dilayangkan penyidik setelah pada Jumat (24/7), Gatot berhalangan hadir dengan alasan sedang ada kegiatan lain bersama keluarganya. "Iya yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi MYB (M Yagari Bhastara)," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, Minggu (26/7).
Pengacara Gatot, Razman Arif, menyatakan kliennya akan memenuhi panggilan KPK. "Yang pasti beliau hadir Senin (27/7) di KPK dengan Ibu Evi. Artinya, Pak Gatot bertanggung jawab," ujar Razman.
Selain Gatot, penyidik juga menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap perempuan bernama Evy Susanti sebagai saksi untuk tersangka OC Kaligis. Evy yang belakangan diketahui merupakan istri kedua Gatot Pujo ini juga tidak hadir dalam panggilan Jumat (24/7). Alasan yang disampaikan Evy pun tidak berbeda dengan Gatot.
Pada perkara ini, Gatot Pujo dan Evy Susanti sudah dicekal oleh KPK bepergian ke luar negeri. Evy diduga mengetahui upaya penyuapan yang diduga dilakukan oleh kantor OC Kaligis terhadap hakim PTUN Medan guna mengurus perkara korupsi dana bantuan sosial di Pemprov Sumut.
Kasus dugaan suap hakim PTUN Medan ini terkuak setelah KPK menggelar operasi tangkap tangan di kantor PTUN Medan pada 9 Juli 2015. Ketika itu, tim Satgas KPK meringkus anak buah OC Kaligis yang bernama M Yagari Bhastara alias Gerry dan Ketua PTUN Medan, Tripeni Irianto Putro, serta 2 hakim lainnya dan 1 panitera.
Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut, dan Evy Susanti saat akan diperiksa KPK
Sebelumnya, Gatot dan Evy dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Jumat (24/7). Namun, Gatot menghubungi langsung penyidik untuk memberitahu perihal ketidakhadirannya. Gatot juga menuliskan surat yang diserahkan kepada KPK melalui kuasa hukumnya, Razman Arif Nasution. Isi surat tersebut juga menyatakan permintaan pengunduran pemeriksaan untuk Gatot dan Evy karena berhalangan hadir.
Razman sempat melarang Gatot untuk diperiksa sebagai saksi pada Jumat lalu. Menurut Razman, KPK menggunakan prosedur yang keliru untuk memanggil Gatot sebagai saksi. Penyidik, kata dia, hanya memberitahu adanya pemeriksaan lanjutan melalui lisan, bukan dengan surat. "Tidak akan datang dan saya tidak akan mengizinkan klien saya datang dengan tidak dipanggil secara resmi," ujar Razman.
Kasus ini bermula dari perkara korupsi dana bantuan sosial yang mengaitkan sejumlah pejabat di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kasus korupsi yang kini ditangani Kejaksaan Agung itu digugat ke PTUN Medan oleh Pemprov Sumatera Utara. Sebelum dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, kasus ini mengendap di Kejaksaan Tinggi Sumut.  Dalam proses gugatan ke PTUN Medan itulah KPK kemudian membongkar dugaan praktik penyuapan yang dilakukan oleh Gerry (anak buah OC Kaligis) kepada tiga hakim dan satu panitera. Ketiga hakim PTUN Medan itu adalah Tripeni Irianto Putro, Amir Fauzi, dan Dermawan Ginting. Adapun satu panitera tersebut bernama Syamsir Yusfan. Kelima orang itu pun langsung ditahan oleh KPK. Menyusul kemudian OC Kaligis yang diduga terlibat dalam penyuapan ini juga ditahan oleh KPK.
 Pengacara OC Kaligis akan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK pada hari Senin (27/7) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kami akan menggugat pemanggilan, penangkapan, penahanan, dan penetapan status tersangka terhadap OC Kaligis," kata pengacara OC Kaligis, Afrian Bondjol, lewat pesan pendek Senin pagi (27/7), kepada Tempo.co.
KPK dianggap menyalahi prosedur saat melakukan panggilan terhadap OC Kaligis. Menurut Afrian, bosnya diagendakan diperiksa pada 13 Juli 2015, namun surat panggilannya baru dikirim pada tanggal yang sama. "Seharusnya surat panggilan dikirim tiga hari sebelumnya," ujar dia.
Pada 13 Juli itu, OC Kaligis mangkir dari pemeriksaan. Sehari kemudian, tim KPK melakukan penangkapan alias upaya jemput paksa, dengan membawa OC Kaligis dari Hotel Borobudur Jakarta ke Gedung KPK. Dalam penangkapan itu, tim KPK dianggap salah juga karena tak memperlihatkan surat tugas sekaligus bukan berstatus sebagai penyidik yang sah.
Setelah digelandang ke Gedung KPK, OC Kaligis langsung dijebloskan ke rumah tahanan. Menurut Afrian, lagi-lagi KPK salah. "OC Kaligis tak diizinkan berkomunikasi dengan bebas selama seminggu. Ini melanggar aturan. Apalagi penetapan tersangka OC Kaligis dilakukan bahkan sebelum KPK memeriksanya sebagai saksi," kata Afrian.
Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) diminta untuk melakukan pengawasan lebih ketat terhadap proses peradilan di Indonesia. Terbongkarnya kasus suap oleh kantor pengacara OC Kaligis terhadap majelis hakim di PTUN Medan oleh KPK itu menjadi bukti bahwa korupsi peradilan masih eksis. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, menilai praktik korupsi peradilan terjadi karena tidak terkoordinasinya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) serta organisasi profesi advokat.
Pihak KY sudah melaporkan beberapa rekomendasi namun belum ada yang direspon MA terkait dengan kinerja para hakim saat menjalani persidangan.
"Apa yang terjadi di Medan adalah warning, harus menjadi perhatian bagi para hakim terhadap upaya-upaya tidak jujur dari pihak-pihak yang berperkara. Putusan harus berdasarkan fakta dan pembuktian selama persidangan. Jadi, semua pihak harus jujur dalam menangani perkara," tegas Miko dalam keterangannya, Rabu (15/7). (Ist) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment