Gubernur Sumut
Diperiksa KPK
Dugaan penyuapan yang
dilakukan oleh kantor OC Kaligis
terhadap hakim PTUN
Medan terkait dengan perkara korupsi
dana
bantuan sosial di Pemprov Sumut yang ditangani Kejaksaan Agung
6 tersangka suap hakim PTUN Medan yang ditahan KPK |
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali
menjadwalkan untuk memeriksa Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho,
terkait kasus dugaan suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan pada
Senin (27/7). Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut akan diperiksa
dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka M Yagari Bhastara alias Gerry.
Ini
merupakan panggilan ulang yang dilayangkan penyidik setelah pada Jumat (24/7),
Gatot berhalangan hadir dengan alasan sedang ada kegiatan lain bersama
keluarganya. "Iya yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi MYB (M
Yagari Bhastara)," ujar Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK,
Priharsa Nugraha, Minggu (26/7).
Pengacara
Gatot, Razman Arif, menyatakan kliennya akan memenuhi panggilan KPK. "Yang
pasti beliau hadir Senin (27/7) di KPK dengan Ibu Evi. Artinya, Pak Gatot
bertanggung jawab," ujar Razman.
Selain
Gatot, penyidik juga menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap perempuan bernama
Evy Susanti sebagai saksi untuk tersangka OC Kaligis. Evy yang belakangan
diketahui merupakan istri kedua Gatot Pujo ini juga tidak hadir dalam panggilan
Jumat (24/7). Alasan yang disampaikan Evy pun tidak berbeda dengan Gatot.
Pada
perkara ini, Gatot Pujo dan Evy Susanti sudah dicekal oleh KPK bepergian ke
luar negeri. Evy diduga mengetahui upaya penyuapan yang diduga dilakukan oleh
kantor OC Kaligis terhadap hakim PTUN Medan guna mengurus perkara korupsi dana
bantuan sosial di Pemprov Sumut.
Kasus
dugaan suap hakim PTUN Medan ini terkuak setelah KPK menggelar operasi tangkap
tangan di kantor PTUN Medan pada 9 Juli 2015. Ketika itu, tim Satgas KPK meringkus
anak buah OC Kaligis yang bernama M Yagari Bhastara alias Gerry dan Ketua PTUN
Medan, Tripeni Irianto Putro, serta 2 hakim lainnya dan 1 panitera.
Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Sumut, dan Evy Susanti saat akan diperiksa KPK |
Sebelumnya,
Gatot dan Evy dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada Jumat (24/7). Namun, Gatot
menghubungi langsung penyidik untuk memberitahu perihal ketidakhadirannya.
Gatot juga menuliskan surat yang diserahkan kepada KPK melalui kuasa hukumnya,
Razman Arif Nasution. Isi surat tersebut juga menyatakan permintaan pengunduran
pemeriksaan untuk Gatot dan Evy karena berhalangan hadir.
Razman
sempat melarang Gatot untuk diperiksa sebagai saksi pada Jumat lalu. Menurut
Razman, KPK menggunakan prosedur yang keliru untuk memanggil Gatot sebagai
saksi. Penyidik, kata dia, hanya memberitahu adanya pemeriksaan lanjutan
melalui lisan, bukan dengan surat. "Tidak akan datang dan saya tidak akan
mengizinkan klien saya datang dengan tidak dipanggil secara resmi," ujar
Razman.
Kasus
ini bermula dari perkara korupsi dana bantuan sosial yang mengaitkan sejumlah
pejabat di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kasus korupsi yang kini
ditangani Kejaksaan Agung itu digugat ke PTUN Medan oleh Pemprov Sumatera
Utara. Sebelum dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, kasus ini mengendap di Kejaksaan
Tinggi Sumut. Dalam proses gugatan ke
PTUN Medan itulah KPK kemudian membongkar dugaan praktik penyuapan yang
dilakukan oleh Gerry (anak buah OC Kaligis) kepada tiga hakim dan satu
panitera. Ketiga hakim PTUN Medan itu adalah Tripeni Irianto Putro, Amir Fauzi,
dan Dermawan Ginting. Adapun satu panitera tersebut bernama Syamsir Yusfan.
Kelima orang itu pun langsung ditahan oleh KPK. Menyusul kemudian OC Kaligis yang
diduga terlibat dalam penyuapan ini juga ditahan oleh KPK.
Pengacara
OC Kaligis akan mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK pada hari Senin (27/7)
ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kami
akan menggugat pemanggilan, penangkapan, penahanan, dan penetapan status
tersangka terhadap OC Kaligis," kata pengacara OC Kaligis, Afrian Bondjol,
lewat pesan pendek Senin pagi (27/7), kepada Tempo.co.
KPK dianggap menyalahi prosedur saat
melakukan panggilan terhadap OC Kaligis. Menurut Afrian, bosnya diagendakan
diperiksa pada 13 Juli 2015, namun surat panggilannya baru dikirim pada tanggal
yang sama. "Seharusnya surat panggilan dikirim tiga hari sebelumnya,"
ujar dia.
Pada 13 Juli itu, OC Kaligis mangkir
dari pemeriksaan. Sehari kemudian, tim KPK melakukan penangkapan alias upaya
jemput paksa, dengan membawa OC Kaligis dari Hotel Borobudur Jakarta ke Gedung
KPK. Dalam penangkapan itu, tim KPK dianggap salah juga karena tak
memperlihatkan surat tugas sekaligus bukan berstatus sebagai penyidik yang sah.
Setelah digelandang ke Gedung KPK,
OC Kaligis langsung dijebloskan ke rumah tahanan. Menurut Afrian, lagi-lagi KPK
salah. "OC Kaligis tak diizinkan berkomunikasi dengan bebas selama
seminggu. Ini melanggar aturan. Apalagi penetapan tersangka OC Kaligis
dilakukan bahkan sebelum KPK memeriksanya sebagai saksi," kata Afrian.
Di sisi lain, Mahkamah Agung (MA)
dan Komisi Yudisial (KY) diminta untuk melakukan pengawasan lebih ketat
terhadap proses peradilan di Indonesia. Terbongkarnya kasus suap oleh kantor
pengacara OC Kaligis terhadap majelis hakim di PTUN Medan oleh KPK itu menjadi
bukti bahwa korupsi peradilan masih eksis. Peneliti Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting, menilai praktik korupsi peradilan
terjadi karena tidak terkoordinasinya pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial
(KY) dan Mahkamah Agung (MA) serta organisasi profesi advokat.
Pihak
KY sudah melaporkan beberapa rekomendasi namun belum ada yang direspon MA
terkait dengan kinerja para hakim saat menjalani persidangan.
"Apa
yang terjadi di Medan adalah warning,
harus menjadi perhatian bagi para hakim terhadap upaya-upaya tidak jujur dari
pihak-pihak yang berperkara. Putusan harus berdasarkan fakta dan pembuktian
selama persidangan. Jadi, semua pihak harus jujur dalam menangani
perkara," tegas Miko dalam keterangannya, Rabu (15/7). (Ist) web majalah fakta / majalah fakta online
No comments:
Post a Comment