Wednesday, November 4, 2015

BERITA UTAMA

Selamatkan Bali,

Tolak Reklamasi Teluk Benoa !

Presiden Jokowi diminta segera mencabut Perpres No. No.51/2014 Tentang Perubahan Atas Perpres No.45/2011 Tentang Rencana Tata Ruang SARBAGITA yang diterbitkan Presiden SBY.

SUARA dan gerakan penolakan rakyat Bali terhadap reklamasi Teluk Benoa yang rencananya digarap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang akan menguruk sekitar Pulau Pudut seluas lebih dari 800 hektar, sepertinya pantang surut. Gerakan penolakan yang dimotori Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) ini telah berlangsung dua tahun lebih. Aksi mereka ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai kota di Nusantara, bahkan dari warga negara asing.
Solidaritas gerakan penolakan reklamasi Teluk Benoa juga ditunjukkan sejumlah musisi dan seniman kenamaan di  Tanah Air. Mereka pun ikut aktif menyuarakan penolakan terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa. Di antaranya adalah Superman Is Dead, Iwan Fals, Happy Salma, Djenar Mahesa Ayu, Seringai, Sawung Jabo, Kirana Larasati dan Glenn Fredly.

Koordinator ForBali, Wayan Gendo Suardana
Koordinator ForBali, Wayan “Gendo” Suardana, menjelaskan bahwa ForBALI dibentuk pada bulan Agustus 2013. Namun, embrionya sudah mulai muncul sejak bulan Juni 2013. Praktis, ForBALI kini telah memasuki tahun kedua menolak rencana reklamasi Teluk Benoa yang digagas PT Tirta Wahana Bali Internasional itu. “Memang ForBALI ini kan dibentuk khusus untuk mengadvokasi rencana reklamasi di Teluk Benoa, bukan menolak reklamasi keseluruhan di mana-mana,” ujarnya di Denpasar.
Sejak dibentuk hingga sekarang ForBALI mendapat respon yang cukup tinggi. Terlihat dari jumlah anggotanya yang berkembang begitu banyak dari seluruh Bali. Tak heran saat menggelar aksi turun ke jalan atau biasa disebut Parade Budaya Tolak Reklamasi Teluk Benoa, ada ribuan anggota yang hadir merubah jalan menjadi lautan manusia.
“Kalau ForBALI ini terdiri dari banyak organisasi, lembaga-lembaga yang memang konsern terhadap persoalan-persoalan sosial di Bali. Termasuk soal lingkungan, jadi bukan baru melek soal lingkungan hidup. Jadi memang ini adalah eksponen dan komponen yang peduli dan sudah dari lama bergerak di bidang sosial di Bali. Dan memang kita sekarang fokus dulu untuk reklamasi di Teluk Benoa,” jelas Gendo.
Lebih lanjut dikatakan, ForBALI selama ini melakukan segala daya upaya sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang mereka punya, serta dijamin konstitusi dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Kegiatan ForBALI antara lain diskusi publik, diseminasi isu kepada publik, demo dan membuat kajian.
“Untuk teman-teman seniman dan musisi yang tergabung dalam ForBALI, mereka melakukan advokasi di bidang mereka dengan seni. Ada yang seni musik, ada lewat lukisan, mural, dan segala macam. Dan itu sekaligus juga untuk pendanaan ForBALI, misalnya lewat lelang karya, konser, termasuk sumbangan dari anggota,” tandasnya.
Ia menguraikan beberapa alasan mengapa ForBali menolak reklmasi Teluk Benoa. Di antaranya karena vegetasi mangrove di kawasan Teluk Benoa didominasi oleh jenis prapat (Sonneratia spp). Vegetasi jenis ini sangat sensitif terhadap sedimentasi. Proyek reklamasi dengan menciptakan pulau-pulau baru di kawasan Teluk Benoa akan membuat proses sedimentasi atau pendangkalan berlangsung semakin cepat. Hal ini disebabkan karena material-material sedimen yang dibawa oleh sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Benoa akan terhalang oleh pulau-pulau baru hasil reklamasi.
Selain itu, Reklamasi Teluk Benoa tentunya akan merubah rejim arus laut yang dibangkitkan oleh peristiwa pasang surut. Perubahan rejim arus ini akan berpengaruh terhadap disposisi sedimen, di mana sedimentasi ini akan mematikan vegetasi Sonnerata spp. Secara jangka panjang akan terjadi perubahan struktur komunitas mangrove di kawasan tersebut. Hal ini diakibatkan proyek reklamasi akan menyebabkan majunya garis pantai, sehingga lingkungan tinggal mangrove akan berganti, yang dahulu adalah lingkungan payau berganti menjadi lingkungan pantai.
Ia membantah jika disebutkan reklamasi  bisa menjadi solusi untuk menghentikan pendangkalan. Namun justru adanya pulau-pulau hasil reklamasi, pulau tersebut akan menghalangi proses sedimentasi alamiah yang telah berlangsung. Sehingga yang terjadi justru sebaliknya, yaitu reklamasi malah akan mempercepat proses pendangkalan.
Alasan lainnya, karena  reklamasi akan menghancurkan habitat dan ekosistem Teluk Benoa yang telah terbentuk dari jutaan tahun yang lalu. Habitat dan ekosistem-ekosistem mangrove Teluk Benoa berperan penting dalam menjaga kestabilan produktivitas dan ketersediaan sumber daya hayati wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang juga merupakan daerah asuhan (nursery ground), pemijahan (spawning ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi beberapa jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan serta sebagai sanctuary kehidupan liar dan mangrove yang dikenal sebagai pemasok hara dan makanan bagi plankton serta menciptakan suatu rantai makanan yang kompleks di perairan sekitarnya. Semua itu akan rusak selama proses pengerjaan pulau-pulau baru.
Kemudian, apakah reklamasi Teluk Benoa sebagai revitalisasi atau degredasi ? Revitalisasi tidak sama dengan reklamasi. Revitalisasi adalah proses, cara, perbuatan menghidupkan atau menggiatkan kembali. Dalam konteks Teluk Benoa yang merupakan kawasan perairan maka seharusnya kegiatan revitalisasinya adalah proses, cara atau perbuatan menggiatkan kembali kawasan perairan Teluk Benoa dengan fungsinya sebagai kawasan perairan.
Menurut Gendo, logika merevitalisasi Teluk Benoa dengan menghilangkan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan konservasi lalu mereklamasinya guna pembuatan pulau-pulau baru adalah logika sesat. Jika revitalisasi adalah menghidupkan fungsi konservasi Teluk Benoa maka mereklamasi Teluk Benoa guna kepentinngan non konservasi sama dengan mendegradasi kawasan perairan Teluk Benoa.
“ForBali mendesak Presiden Joko Widodo untuk bekerja keras mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim dengan menjadikan teluk sebagai masa depan peradaban Indonesia demi mewujudkan kejayaan Indonesia di laut. Adalah modal besar untuk mengembalikan Teluk Benoa menjadi kawasan konservasi. Komitmen Presiden Jokowi harus segera diwujudkan dengan segera membatalkan Perpres No.51/2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No.45/2011 Tentang Rencana Tata Ruang SARBAGITA. Sebab, penerbitan Perpres No.51/2014 itu adalah upaya pemaksaan agar investor dapat mereklamasi 700 hektar Teluk Benoa dengan cara menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi perairan sebagaimana yang disebutkan di dalam pasal 55 ayat (5) Perpres No.45/2011”.
Tak mau ketinggalan, warga Bali yang bermukim di luar negeri pun juga menyuarakan penolakan mereka. Mereka tergabung dalam Diaspora Bali yang beranggotakan mahasiswa, pekerja, dan seniman asal Bali yang tinggal luar negeri. Fasilitator Sekaan (Kelompok) Diaspora Bali, Agung Wardana, mengungkapkan bahwa sebanyak 32 inisiator Sekaan Diaspora Bali yang tersebar di berbagai negara di Asia, Australia dan Eropa secara tegas menolak Reklamasi Teluk Benoa. Ia mendorong masyarakat Bali untuk mengambil posisi kritis terhadap agenda pembangunan Bali yang termuat dalam MP3EI maupun model pembangunan yang tidak adil lainnya, seperti rencana reklamasi Teluk Benoa.
Agung Wardana yang kandidat doktor di Asia Research Centre, Murdoch University, beserta sejumlah cendekiawan asal Bali ini pada prinsipnya mendukung harapan masyarakat Tanjung Benoa untuk merevitalisasi Pulau Pudut yang saat ini kondisinya semakin terkikis. Namun, solusinya adalah revitalisasi Pulau Pudut yang dilakukan oleh pemerintah, bukan pihak investor yang memosisikan diri seolah-olah sebagai dewa penyelamat.
Pembuatan pulau baru di Teluk Benoa, kata Agung Wardana, akan berdampak besar bagi lingkungan. Menurut pemodelan yang dilakukan Conservation International (CI), pengurugan laut seluas 838 hektar untuk kawasan wisata terpadu ini akan menyebabkan perubahan arus air yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan abrasi dan beberapa wilayah yang secara geografis berposisi rendah tergenang akibat banjir rob.
Banyuwangi menolak
Sementara solidaritas penolakan yang datang dari luar Pulau Bali, berasal dari tetangga dekat Bali di sebelah barat, yaitu Kabupaten Banyuwangi. Sejumlah pemuda asal Banyuwangi berulang kali melakukan aksi penolakan dengan meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur menolak rencana pengambilan pasir dari pesisir buat reklamasi Teluk Benoa. Penolakan mereka juga dilakukan lewat kampanye masif di di media sosial sampai membuat petisi. 
Dalam petisi itu, Walhi Jawa Timur mendesak Gubernur Jatim menolak izin penambangan pasir laut di Banyuwangi untuk mereklamasi Teluk Benoa. Disebutkan dalam petisi itu, PT TWBI mengincar pasir laut di pantai dan pesisir Muncar, Rogojampi dan Kabat, Banyuwangi. Kawasan Muncar, Rogojampi dan Kabat selama ini dikenal sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Data BPS 2014, di Muncar ada 12.714 jiwa sebagai nelayan. Di Rogojampi dan Kabat, sekitar 1.488 warga di sektor perikanan. Jumlah ini belum memperhitungkan tenaga kerja pada 309 unit pengolahan ikan. Di Pelabuhan Muncar, ada 27 industri penepungan ikan, 13 pengalengan ikan, dan 27 pembekuan ikan.
TWBI berencana mereklamasi Teluk Benoa dengan menguruk laut seluas 700 hektar. Rencana itu ditolak berbagai elemen masyarakat karena berpotensi merusak konservasi pantai demi kelestarian keragaman hayati dan mengganggu basis perekonomian masyarakat berbasis maritim.
Untuk memuluskan usaha pengerukan pasir laut di Banyuwangi, pihak PT TWBI telah bertemu dengan pihak Pemerintah Banyuwangi dan survei lokasi. Izin pertambangan pasir laut menunggu persetujuan Gubernur Jatim. Usaha serupa sudah ditolak di Nusa Tenggara Barat (NTB). Gubernur NTB, M Zainul Majdi, menyatakan, pengerukan pasir merusak ekosistem lingkungan di wilayah mereka.
“Pengerukan pasir laut di Banyuwangi akan mengancam kelestarian kawasan pantai dan laut di wilayah itu. Ekosistem pantai dan pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumber daya hayati memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat sekitar,” bunyi petisi itu.
Mereka beralasan karena ekologi kawasan pantai dan pesisir yang hancur akan menimbulkan dampak luas seperti biota laut hilang dan ancaman bencana ekologis seperti abrasi serta banjir rob.
Penolakan dari Washington
Washington DC Against The Destruction of Bali’s Environment, Tolak Reklamasi Teluk Benoa.” Begitu spanduk penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali, terbentang di Washington DC, Sabtu (11/4). Hari itu warga Indonesia bersama warga Washington menggelar aksi damai di depan Reflection Pool, Capitol Hill, Gedung Kongres Amerika. Mereka pun menyanyikan lagu Bali Tolak Reklamasi. “Sayang Bali…tolak reklamasi…”
Made Supriatma, juru bicara aksi dalam rilisnya kepada media mengatakan, aksi ini mendesak Presiden Indonesia, Joko Widodo, mencabut Perpres No.51/2014. Aturan itu, katanya, keluar menjelang akhir masa jabatan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Peraturan presiden ini disinyalir sarat kepentingan bisnis karena memberi jalan menguruk wilayah konservasi Teluk Benoa,” katanya.

Fasilitator Sekaan (Kelompok) Diaspora Bali, Agung Wardana
Kawasan Teluk Benoa yang bakal direklamasi sekitar 700 hektar dengan mendatangkan tanah urukan dari berbagai pulau dan daerah sekitar seperti Banyuwangi dan Lombok. “Bisa dibayangkan keuntungan yang akan dikeruk investor karena proyek ini terletak di wilayah prime spot wisata Bali yang memiliki harga tanah termahal. Namun, dampak lingkungannya mengintai warga sekitar. Ada segelintir orang akan mendapat keuntungan sangat besar dari reklamasi ini, sementara rakyat yang harus menanggung akibatnya jika terjadi kerusakan. Ini sangat tidak adil,” kata Ika, peserta aksi.
Dalam aksi ini mereka juga mendesak para elit politik lokal dan elit pemerintahan di Bali mendengarkan suara rakyat. Penolakan pengurugan Teluk Benoa tidak hanya oleh masyarakat Bali tapi juga skala internasional. Aksi di Washington DC ini merupakan salah satu dari aksi serupa di berbagai negara. Daniel Ziv, warga Kanada yang tinggal di Bali dan sutradara film dokumenter ‘Jalanan,’ mengatakan, aksi ini diharapkan bisa mendukung perjuangan rakyat Bali menolak reklamasi Teluk Benoa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Puslit Geoteknologi LIPI 2010, Teluk Benoa memiliki potensi bahaya likuifaksi. Artinya, lapisan tanah pada kawasan ini sangat rentan mengalami perubahan dari padat menjadi cair maupun terjadi amblesan jika terjadi pergeseran lapisan bumi. Dengan demikian, tentu kawasan ini sangat beresiko jika dibangun infrastruktur pariwisata skala besar dan tinggi.
Selain itu, ahli Perubahan Iklim dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr rer nat Armi Susandi MT, di tahun 2010 pernah memprediksi bahwa pada 2050 sebagian daratan Pulau Bali akan tenggelam. Hal ini disampaikannya saat orasi ilmiah di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB, Bandung, dilansir Yahoo.com.
Menurut dia, anomali cuaca dan iklim di masa depan akan menimbulkan dampak yang lebih dramatis pada Pulau Bali yang kini memiliki luas sekitar 5.632 kilometer persegi. Ia memprediksi, pada 2050 daratan Pulau Bali akan terendam seluas 489 kilometer persegi. Rendamannya akan semakin luas pada 2070, hingga mencapai 557 kilometer persegi.
Yang lebih mencengangkan, terendamnya wilayah ini akan mengakibatkan terpisahnya Pulau Bali menjadi dua bagian. Tanah genting yang selama ini menjadi penghubung sebagian besar Pulau Bali dengan Nusa Dua, di antaranya terdapat Pantai Kuta dan Sanur pun akan ternggelam. Akibatnya, masih kata dia, Nusa Dua akan menjadi pulau tersendiri yang terpisah dari Pulau Bali.
Maka, marilah kita lebih peduli untuk menjaga kelestarian alam dan lingkungan di Pulau Dewata demi anak-cucu generasi mendatang. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment