Wednesday, November 11, 2015

DRESTA BALI

Denpasar : Transmigran Bali Tewas Dipenggal Di Sulteng

Korban Nyoman Astika semasa hidup bersama istrinya, Made Kantri
NASIB naas menimpa salah seorang transmigran asal Bali, Nyoman Astika. Pada Minggu (13/9) ia tewas dibunuh dengan kepala terpenggal. Peristiwa berdarah itu terjadi di rumahnya, di Dusun Baturiti, Desa Balinggi, Kabupaten Parigi Moutong, Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Menantu korban, Nyoman Adiana, menceritakan, pada pukul 13.00 Wita, saat kejadian, Nyoman Astika (70) dan istrinya, Made Kantri (65), transmigran asal Desa Gitgit, Kabupaten Buleleng, hendak melakukan persembahyangan Tilem di rumah kecil miliknya yang berlokasi di Pegunungan Baturiti.
Ketika Astika dan istrinya tiba di rumah di pegunungan itu dan sempat melakukan beberapa aktivitas, datang lima orang laki-laki bercadar. 2 orang membawa senjata laras panjang, 2 orang membawa pistol, dan 1 orang membawa kapak. “Dua di antara mereka memegang tangan mertua perempuan saya (Made Kantri), dan sisanya menyandera mertua laki-laki saya (Nyoman Astika),” jelasnya mengutip cerita dari mertua perempuannya, Selasa (15/9), di Denpasar.
Dipaparkan, kemudian dilihat salah satu pelaku mencuci golok berlumuran darah dekat dengan sumber air di rumah korban. “Salah satu pelaku mencuci tangan dan kapak penuh dengan darah, selang beberapa saat kemudian mertua perempuan saya dilepaskan dan dilihatnya mertua laki-laki saya terlentang di tanah dekat pekarangan dengan keadaan terbunuh tanpa kepala,” katanya.
Selanjutnya, para pelaku tersebut sempat mengancam mertua perempuannya agar tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib dan masyarakat setempat. “Mertua saya sempat ketakukan tetapi sekitar pukul 20.00 Wita memutuskan kabur dengan cara berlari ke Desa Gitgit Sari, lokasi pemukiman keluarga yang berjarak sekitar lima kilometer dari lokasi pembunuhan tersebut,” lanjutnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan, keesokan harinya, Senin (14/9), sanak-keluarga dibantu beberapa penduduk daerah setempat berjumlah lebih dari 30 orang berangkat ke lokasi pembunuhan untuk mengevakuasi mayat korban dan berusaha mencari bagian kepala korban  yang hilang. “Namun, pencarian kepala korban hingga hari ini masih nihil,” imbuhnya.
Adiana lebih jauh mengungkapkan, keluarga di daerah itu sudah melaporkan kejadian tersebut ke pihak Kepolisian Parigi Mautong. “Kami mendengar sudah dilaporkan dan saat ini pihak kepolisian tengah mendalami kasus ini dan diduga terkait dengan kelompok Santoso,” imbuhnya. 
Ada informasi, kelompok Santoso merupakan kelompok teroris yang selama ini dinilai kejam oleh masyarakat sekitar.
Diakui Adiana, lokasi kebun milik mertuanya itu memang merupakan jalur “danger”. Pasalnya, jalur itu merupakan jalur yang kerap dilintasi para teroris atau kelompok lainnya. Menurutnya juga, dari pengakuan mertuanya sebelumnya saat pulang, memang kebun milik korban itu sering dijadikan tempat persembunyian oleh kelompok teroris di wilayah itu.
“Dulu katanya sempat ada teroris ngumpet di kebun milik mertua saya. Orang-orang tidak berani lewat di sana karena sepi dan berbahaya,” katanya.
Ditambahkan Adiana, lokasi kebun milik mertuanya bersama kebun warga lainnya itu berjauhan dengan pemukiman penduduk. Adiana yang mengaku juga pernah tinggal di sana mengatakan, untuk mencapai pemukiman penduduk diperlukan waktu berjalan kaki sekitar 3-4 jam lamanya untuk mencapai desa. Sehingga menurutnya, kondisi ini sering dimanfaatkan kelompok-kelompok itu untuk melakukan tindakan anarkis.
Pada Selasa (15/9), korban dimakamkan di lokasi itu. Sebab, menurut keyakinan, korban yang meninggal dalam kondisi tidak utuh (tanpa kepala) wajib dikubur di wilayah Parigi, Sulteng, sesuai adat dan agama Hindu. Jika kepala korban ditemukan kembali, baru dilaksanakan upacara pengabenan. (F.987) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment