Friday, March 11, 2016

DRESTA BALI

Dijegal Koster, Ini Alasan DPRD Bali Terus
Perjuangkan Dana Bagi Hasil Ke Pusat

Sugawa Korry, Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali yang juga Koordinator
Pansus Revisi UU No.33 Tahun 2004 DPRD Provinsi Bali
DPRD Bali rupanya tak menyurutkan langkah untuk terus memperjuangkan dana bagi hasil (DBH) yang adil dari pemerintah pusat dengan mendorong revisi UU No.33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kendati anggota DPR/DPD RI Dapil Bali menolaknya. Sebagaimana yang dijelaskan Anggota Komisi X DPR RI, I Wayan Koster, bahwa perjuangan itu mustahil terwujud bahkan akan merugikan Bali sendiri.
"Mungkin ada perbedaan cara pandang antara Pansus dengan Pak Koster, dan saya kira hal tersebut merupakan hal yang biasa dalam demokrasi," ujar Wakil Ketua DPRD Provinsi Bali, Nyoman Sugawa Korry, yang juga Koordinator Pansus Revisi UU No.33 Tahun 2004 DPRD Provinsi Bali, di Denpasar, Jumat (13/11).
Politisi senior Partai Golkar ini menegaskan, pihaknya menghargai pandangan berbeda yang dilontarkan Koster. Namun, menurut dia, perjuangan DPRD Bali itu sangat relevan ketika daerah proaktif dalam memberikan masukan yang konstruktif terhadap revisi UU No.33 Tahun 2004. Apalagi, revisi undang-undang ini pun sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Perjuangan tersebut, lanjut Sugawa Korry, mendapat dukungan luas berbagai komponen masyarakat di Bali, sebagaimana terungkap dalam seminar yang digelar pansus untuk menyerap aspirasi masyarakat Bali beberapa bulan lalu.
"UU No.33 Tahun 2004 ini kita rasakan, pertama, tidak konsisten antara konsideran dengan batang tubuh atau pasal-pasalnya. Kedua, sangat tidak adil bagi daerah yang tidak punya sumber daya alam," katanya.
Ia menjelaskan, UU itu tidak konsisten karena dalam konsideran jelas disebutkan bahwa dana perimbangan bersumber dari dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam dan sumber daya lainnya. Sementara dalam pasal 11 UU tersebut hanya disebutkan bahwa dana perimbangan bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
"Jadi tidak ada yang mengatur bagi hasil dari sumber daya lainnya. Di sisi lain, Bali dan beberapa provinsi lainnya tidak mempunyai sumber daya alam. Jadi sangat jelas jika UU tersebut sangat tidak adil," tegasnya.
Ia melanjutkan, DBH yang bersumber dari pajak masih sangat tidak adil untuk Bali, sebab baru masuk PPh perorangan, belum termasuk PPh Badan Usaha dan PPN. Ia pun membandingkan dengan negara-negara lain yang sudah konsisten mengenakan pajak untuk wisatawan, sedangkan dalam UU No.33 Tahun 2004 hal itu belum diatur.
"Terhadap hal-hal itulah usulan dari kita disampaikan. Lalu kenapa hal ini dipandang tidak relevan ? Sekecil apa pun Bali diuntungkan dalam konteks revisi undang-undang ini, kita harus perjuangkan bersama-sama," katanya.
Ia mengajak berbagai pihak di Bali untuk tidak pesimis memperjuangkan revisi UU tersebut. Ia pun mencontohkan pembahasan UU Lembaga Keuangan Mikro di DPR RI, yang semula dipandang berat namun tetap membuahkan hasil manis. "Kami di DPRD Bali membuat draf pokok-pokok pikiran, bersinergi dengan anggota DPD RI (Wirata) untuk memperjuangkan LPD diperlakukan khusus/lex spesialis. Kita juga berdialog dengan Pansus dan didukung juga oleh Ketua DPR RI saat itu (Marzuki Alie), yang akhirnya bisa terwujud. Kita berharap hal seperti itu bisa dilakukan dalam konteks revisi UU No.33 Tahun 2004 ini. Kita jangan pesimis," tegasnya.
Wayan Koster, Anggota Komisi X DPR RI 
Terhadap usulan anggota DPR RI/DPD RI Dapil Bali yang mendorong perjuangan mendapatkan keadilan DBH melalui revisi UU No.64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah Tingkat I Provinsi Bali, NTB dan NTT dengan mendorong lahirnya UU Provinsi Bali, Sugawa Korry mendukungnya. Namun, ia menegaskan tak boleh meniadakan perjuangan itu melalui revisi UU No.33 Tahun 2004.
"Pansus yang dibentuk oleh DPRD Bali itu untuk memperjuangkan revisi dua UU tersebut. Kedua UU itu masuk Prolegnas. Perjuangan Perimbangan Keuangan itu kita kawal melalui revisi UU No.33 Tahun 2004, juga melalui revisi UU No.64 Tahun 1958. Semua peluang yang ada kita manfaatkan," pungkas Sugawa Korry.
Sebelumnya, Koster menolak rencana DPRD Bali yang memasukkan sektor pariwisata sebagai komponen DBH dalam revisi UU No.33/2004 itu. Yang mencengangkan, dengan didukung data-data yang dimilikinya, ia menilai perjuangan DPRD Bali yang didukung Gubernur Bali itu justru akan merugikan Bali sendiri.
Koster menegaskan, tak benar ada devisa puluhan triliun setiap tahun yang dihasilkan dari sektor pariwisata di Bali yang diterima pemerintah pusat sebagai pendapatan negara. Dana itu sudah langsung dihabiskan di Bali, yang dinikmati oleh pengusaha yang bersinggungan langsung dengan industri pariwisata, masuk ke PAD pemerintah daerah kabupaten/kota melalui pajak hotel dan restoran (PHR), dan dinikmati masyarakat seperti pengrajin.
"Jadi devisa itu tidak masuk ke pusat. Sudah diterima langsung oleh pengusaha hotel, restoran, pemerintah daerah dan masyarakat di Bali," tegasnya.
Pendapatan negara dari wisman yang datang ke Indonesia dan Bali hanya berasal dari penerimaan Visa (Visa Reguler, VoA) dalam bentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Target PNBP dalam APBN Tahun 2015 sebesar Rp 3,5 triliun. Bila diasumsikan 40 persen wisman datang ke Bali, maka PNBP yang bersumber dari wisman yang datang ke Bali hanya sebesar Rp 1,4 triliun.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan, PNBP dari wisman ke Indonesia seluruhnya dikelola oleh Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, tidak dikelola oleh Menteri Keuangan. Dari sisi peraturan perundang-undangan, PNBP tidak termasuk dalam bagian dari daerah penghasil sehingga tak bisa menjadi bagi hasil untuk daerah lain di seluruh Indonesia termasuk Bali.

Ia melanjutkan, mulai tahun 2016 diberlakukan kebijakan bebas visa untuk wisman dari 90 negara yang masuk ke Indonesia, termasuk yang datang ke Bali. Konsekwensi dari kebijakan tersebut akan menurunkan PNBP secara drastis. "Gagasan untuk meminta hak DBH dari pariwisata untuk Bali justru sangat lemah dan merugikan Bali. Sebab, Bali hanya menyumbang pendapatan negara dari visa kunjungan wisman yang datang ke Bali sebesar Rp 1,4 triliun dalam APBN Tahun 2014. Padahal tahun 2016, ada kebijakan bebas visa bagi wisman ke Indonesia. Bali juga menerima dana Transfer Daerah dan Dana Desa dalam APBN Tahun 2016 sebesar Rp 8,26 triliun. Dana tersebut sudah termasuk komponen yang bersumber dari Pajak Penghasilan Perorangan (PPh Perorangan) maupun Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan), dan sumber lainnya yang diatur dengan UU Perpajakan," katanya. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online

No comments:

Post a Comment