Wednesday, March 23, 2016

OPINI

9 Desember 2015
“Rakyat Kembali Menjadi Raja”


SUDAH menjadi fakta, di banyak daerah yang diikuti calon `incumbent`, netralitas aparat dan instansi pemerintah adalah hal yang sulit untuk ditegakkan.
Pilkada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi karena rakyat secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemerintah atau pejabat negara. Pelaksanaan pilkada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup beragam di masyarakat. Sebagian melihat pilkada sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah.
Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pilkada hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu akan lebih baik digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat.
Apa pun pendapat tersebut, realitanya pilkada harus berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya sistem layanan publik bagi rakyat di daerah sebagai esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate.
Apabila kita menganalogikan sepakbola dengan pilkada, maka pada dasarnya tidak jauh berbeda satu dengan lainnya. Dalam pilkada, semua kandidat pada saatnya nanti akan mengeluarkan semua strategi, taktik maupun teknik dengan sekuat tenaga dan pikiran agar kemenangan dapat diraih seperti halnya dalam sepakbola. Pelanggaran-pelanggaran pada saatnya nanti mungkin saja terjadi, namun bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tersebut diminimalisir bahkan mungkin dihilangkan, tidak saja oleh semua pasangan kandidat calon, tapi kita semua juga berkewajiban untuk itu. Karena apabila hal tersebut dilanggar sudah sewajarnyalah wasit (dalam hal ini panwaslu) akan menindak dengan tegas, tanpa memandang latar belakang kandidat, seperti halnya wasit dalam sepakbola tadi.
Persoalannya, tentu keliru besar jika sang kandidat berpikiran pilkada sama dengan sepakbola. Bagaimanapun, pelanggaran tak pernah diakui sebagai bagian yang baik dalam pilkada. Bukankah menurut pakar politik, pilkada adalah instrumen dari proses politik demokratis yang akan menentukan hajat paling mendasar setiap warga ? Oleh karena itu, seperti slogan KPU, pilkada dan pemilu lainnya semestinya digelar dengan kesadaran untuk melaksanakannya secara jujur dan adil.
Kita tahu, laku culas dalam pilkada tak bisa dihilangkan karena memang ada peluang yang begitu lapang untuk melakukannya, apalagi untuk calon incumbent. Peluang pelanggaran itu terutama karena hukum dan aturan main tak pernah benar-benar tegak dalam perhelatan demokrasi lokal ini. Hampir semua pilkada yang digelar selalu diakhiri dengan setumpuk laporan tentang kecurangan. Namun sangat jarang kita dengar, pelanggaran tersebut berlanjut hingga ke ruang pengadilan.
Fakta ini membukakan pikiran para calon bahwa hukum terlampau mudah untuk dinego dalam hajatan demokrasi ini. Telah banyak terjadi kasus pelanggaran tentang politik uang dan memang terjadi, kita tahu, sesungguhnya itu hanya salah satu modus di antara sekian banyak cara untuk 'bermain politik'. Modus lain, misalnya, di banyak daerah yang diikuti calon incumbent, netralitas aparat dan instansi pemerintah adalah hal yang sulit untuk ditegakkan. Biasanya kita pun akan sulit membedakan antara program pemerintah yang dibiayai APBD dengan program kampaye sang juara bertahan. Sementara bagi yang tidak bisa memanfaatkan 'mesin  birokrasi', uang adalah alat yang paling sering digunakan untuk mempengaruhi pemilik suara.
Namun begitulah, jika pun ada laporan pelanggaran, biasanya hanya akan berhenti di rak arsip. Kita maklum, ini bukan hanya karena kecurangan pilkada memang sulit dibuktikan, namun juga karena aparatnya yang enggan untuk serius membuktikannya. Dari pengamatan setiap kejadian setiap pemilihan pemimpin baik itu pemilihan presiden, pemilihan gubernur, pemilihan bupati atau walikota, pemilihan anggota legislatif, bahkan sampai pemilihan kepala desa, hampir semua kontestan pasti melakukan kecurangan, belum pernah ditemukan calon yang bersih dari kecurangan tersebut. Kalaupun ada, itu pun sangatlah jarang, walau tentu saja tingkat kecurangannya bebeda-beda sesuai kemampuan finansial dan koneksi link si calon.

Yang pasti, 9 Desember 2015, rakyat kembali menjadi raja. Rakyat berhak menentukan siapa orang yang dipercaya untuk menjadi pemimpinnya. Karena itu, sebaiknya rakyat benar-benar berpikir cerdas dan tidak hanya memikirkan kepentingan sesaat saja. Ingat, masa depan suatu daerah atau bangsa ini salah satu penentunya adalah figur pemimpinnya. Ketika kita salah pilih, kita juga yang akan menanggung akibatnya. web majalah fakta / majalah fakta online
Oleh :

Drs. Nuh L. Widodo
Ketua Umum LSM Nasional KOMPAK

No comments:

Post a Comment