Friday, November 11, 2016

LINTAS JAWA BARAT

PENDIDIKAN GRATIS DI JAWA BARAT HANYA SLOGAN

Imelda Rahmi Puteri SH.
MUNCULNYA pendidikan gratis yang penuh wacana politis sebenamya
mengaburkan teori empiris dalam dunia pendidikan yang dominan kepada masalah pembiayaan atau pendanaan pendidikan karena lembaga pendidikan atau SD sampai SLTP hanya dapat menerima 30 %  dana BOS (bantuan oprasionil sekolah) dari seluruh biaya penyelenggaraan pendidikan yang diambil dari APBN.
Sesuai dengan PP nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan pasal 2 ayat 1 dan 2 dijelaskan (1) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat. (2) masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, (b) peserta didik, orangtua atau wali peserta didik, dan (c) pihak lain selain yang dimaksud dalam huruf (a) dan (b) yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Jelas sekali dalam peraturan pemerintah tersebut bahwa pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat yang terdiri dari orangtua peserta
didik. Tidak ada kata sedikitpun yang melandasi sekolah yang bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan dasar (SD dan SMP) baik negeri maupun swasta. Semua sekolah pada dasarnya menerima dana BOS, hanya sekolah swasta tertentu yang tidak mau menerima dana BOS karena merasa sudah mampu membiayai kebutuhan pendidikannya.
Tapi, sayang, prakteknya tak sedikit yang melenceng dari PP No.48 Tahun 2008. Di sinilah politik untuk kekuasaan merambah dunia pendidikan yang mengakibatkan ketidakjelasan pendidikan di negeri kita. Padahal pendidikan memerlukan dana cukup besar. Apa jadinya generasi anak bangsa di masa depan kalau sekarang saja kekurangan dana dalam menggali potensinya ? Maka, perlu adanya perubahan dalam sistem pendidikan di negeri ini.
Pendidikan tingkat dasar (SD - SMP) secara gratis adalah pola pikir yang
membedakan pengingkaran dari suatu komitmen terhadap tujuan pendidikan, tidak bertanggung jawabnya pada mutu pendidikan, terkontaminasmya pendidikan dengan dunia politik, bercampur-aduknya antara kekuasaan dengan sistem pendidikan dengan pendidikan gratis tingkat dasar (SD - SMP), terhentinya kesinambungan pendidikan ke tingkat menengah (SMA - SMK) bahkan sampai tingkat tinggi. Sungguh paradok di masyarakat.
Pendidikan yang dianut pemerintah kita membuat banyak orangtua yang mengeluh dan kebingungan bila anaknya melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah harus mengeluarkan biaya cukup tinggi. Ini wujud dari tidak komitmennya pemerintah daerah yang menggelar program pendidikan gratis dan sangat bertentangan dengan PP No.48 Tahun 2008 dengan menutupi kekurangan 70 % dari seluruh anggaran pendidikan.
Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Provinsi Jawa Barat selaku sosial kontrol terhadap pembangunan dan mengawasi roda pemerintahan termasuk di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
se-Jawa Barat menduga dana BOS kebanyakan dikorupsi oknum-oknum pendidikan. Pelaksanaan BOS diduga banyak yang bertentangan dengan bestek serta juknis. Tetapi banyak dugaan pelanggaran dana BOS yang belum ditindak. Meskipun hasil survei di lapangan menunjukkan banyak terjadi mark up jumlah
siswa yang tidak sesuai dengan data yang sebenarnya dalam memperoleh BOS.
Menurut Imelda Rahmi Puteri SH dan Agus Anwar SH dari DPP Lembaga Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Provinsi Jawa Barat, sebenarnya perbuatan para oknum pendidikan itu sudah menjurus kepada tindak
pidana korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 31 UU No.31 Tahun 1999 dan
UU No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi yang diancam dengan hukuman 15 tahun penjara. Tetapi diduga karena adanya perlindungan dari pihak atasan sehingga sulit untuk dibidik.
Agus Anwar SH bertekad untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan akan membabat pelaku tindak pidana korupsi khususnya di Jawa Barat dan umumnya di Indonesia. “Negara kita adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 dan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 sehingga tanpa pandang bulu pelaku tindak pidana korupsi harus diseret ke meja hijau. Negara kita menganut azas legalitas yang artinya setiap peristiwa tindak pidana harus diajukan di muka pengadilan tanpa perbedaan suku, agama, ras dan golongan. Kita harus tetap menjunjung tinggi hukum sehingga hukum bisa menjadi panglima reformasi”.
H Denden Sudarman sebagai Ketua Umum DPP Lembaga Konsultan Hukum Realita Principiel Recht Provinsi Jawa Barat telah
melayangkan surat kepada Ketua KPK, Jaksa Agung dan Kapolri agar benar-benar menangani kasus korupsi secara intensif. Dan, meminta kepada Jaksa Agung RI dan Ketua KPK agar kasus dana bansos di
Ciamis, kasus pembangunan RS Muhammadiyah Kota Bandung dan kasus di Dinas Kota Bandung seperti robohnya bangunan Sekolah Dasar

Negeri Sejahtera Bandung yang dapat bantuan ratusan juta rupiah dan selaku penanggung jawabnya adalah Fatimah, isteri Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung, disidik sampai tuntas. (F.481) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment