Friday, December 2, 2016

BERITA UTAMA

PRESIDEN JOKOWI TEGUR KAPOLDA DAN KAJATI SEINDONESIA

Kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan.

“Kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan”.
MASIH maraknya upaya kriminalisasi terhadap kepala daerah, tampaknya membuat Presiden Joko Widodo sebal. Selasa (19/7), Presiden Jokowi mengumpulkan seluruh Kapolda dan Kajati se-Indonesia di Istana Negara, Jakarta. Presiden kembali meminta aparat penegak hukum untuk tidak mengkriminalisasi kepala daerah atas kebijakan yang diambil.
Saat berbicara kemarin, mimik muka Jokowi tampak serius. "Kita sudah pontang-panting melakukan terobosan-terobosan, baik deregulasi ekonomi maupun amnesti pajak,” ucapnya.
Menurut presiden, berbagai jurus untuk bisa mendorong tumbuhnya perekonomian sudah dikeluarkan oleh pemerintah. "Namun, kalau tidak ada support dari jajaran di daerah, baik pemda, kejari, kejati, polresta, polda, ya tidak jalan,” lanjut Jokowi dengan nada kecewa.
Jokowi menuturkan, ada lima hal yang sudah sejak tahun lalu dia minta kepada kapolda dan kajati. Seluruhnya menyangkut penegakan hukum dan kebijakan pemerintah daerah. Pertama, kebijakan atau diskresi yang diambil kepala daerah jangan sampai dipidanakan. Hal yang sama juga harus diterapkan pada tindakan administrasi pemerintahan. ’’Tolong dibedakan, mana yang niat nyuri, mana yang niat nyolong, mana yang itu tindakan administrasi,’’ ujar presiden yang mantan pengusaha mebel itu.
Menurut Ketua KPK, Agus Raharjo, diskresi itu tidak boleh 
dilakukan kalau peraturannya ada.
Ketiga, terkait dengan kerugian negara yang dinyatakan BPK, masih ada waktu 60 hari untuk memperbaiki atau bahkan mengembalikan. Berikutnya, kerugian negara harus konkret. Terakhir, kasus-kasus tersebut tidak diekspos berlebihan sebelum sampai ke ranah penuntutan di pengadilan. Sebab, belum tentu tersangka itu bersalah.
Selama setahun belakangan, Jokowi mengaku mendengar sejumlah keluhan dari bupati, walikota, maupun gubernur berkaitan dengan upaya pemidanaan terhadap kepala daerah dan jajarannya. "Nanti saya akan blak-blakan kalau sudah nggak ada media,” ucapnya menutup pengantar. Dia lalu kembali duduk tanpa mengucapkan salam.
Seskab Pramono Anung menuturkan, pada dasarnya presiden hanya tidak ingin ada upaya kriminalisasi terhadap pihak eksekutif yang sedang menjalankan pembangunan. Dalam hal ini kepala daerah dan jajarannya. "Tapi kalau benar-benar salah ya tangkap, kalau mencuri, ya penjarakan,” ujar Pramono usai pertemuan.
Temuan BPK, misalnya, ada saja yang belum habis 60 hari, penegak hukum sudah masuk dan memproses. Kemudian, saat memproses itu buru-buru diumumkan kepada publik, sehingga seolah-olah sudah bersalah. "Kalau memang kriminalisasi terus dilakukan, presiden menyampaikan, meminta kepada Jaksa Agung dan Kapolri mencopot Kajari dan Kajati (juga Kapolda-Kapolres),” lanjut mantan Sekjen PDIP itu.
Saat ini, tutur Pramono, ada kurang lebih Rp 246 triliun dana di berbagai daerah yang disimpan di Bank Pembangunan Daerah (BPD). Kondisi tersebut dinilai sangat merugikan karena uangnya tidak bergerak. Di satu sisi, pemerintah sedang mencari tambahan dana untuk memperkuat fiskal. Namun, di sisi lain ada dana menganggur yang begitu besar di daerah.
Arief Poyuono.
"Karena apa, mereka (kepala daerah) takut untuk menggunakan uang itu," ucapnya. Karenanya, presiden justru meminta kapolda dan kajati untuk ikut mendorong agar dana-dana tersebut segera diserap untuk pembangunan.
Dia mengakui, ada faktor lain yang mungkin bisa menjadi motif dana menganggur. Salah satunya, untuk mengincar bunga bank. Caranya adalah mengendapkan dana itu berbulan-bulan. Jika memang itu yang terjadi, maka pemerintah akan mengambil tindakan. Salah satunya mengurangi alokasi dana untuk daerah.
Pramono menambahkan, presiden tidak sedang mengungkapkan kekecewaan terhadap para kapolda dan kajati. ’’Presiden memberikan penegasan, jangan disalahartikan,’’ tambahnya.
Mendagri, Tjahjo Kumolo, mengakui, salah satu hal yang dibahas presiden dengan para penegak hukum tahun lalu adalah faktor ketakutan kepala daerah. BPK memberi waktu 60 hari untuk menjawab temuan yang ada. "Ya seharusnya penegak hukum jangan masuk dulu,” ucapnya.
Bagaimanapun, tutur Tjahjo, setiap terobosan memerlukan diskresi. Memang, sebagian diskresi sudah mendapatkan payung hukum. Namun, sebagiannya lagi belum. Yang belum mendapat payung hukum itulah yang seharusnya tidak buru-buru dipidanakan atau diperdatakan.
Apabila dana Rp 246 triliun itu bisa digunakan, tentu pembangunan akan lebih lancar. Pihaknya juga sudah memberikan arahan kepada kepala daerah agar tidak ragu dalam mengambil kebijakan. Tidak perlu takut kalau memang tidak menggondol anggaran. "Kecuali tertangkap tangan, apa boleh buat,” tambahnya.
Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, tidak banyak berkomentar mengenai pertemuan dengan presiden tersebut. Dia mengakui ada beberapa arahan dari presiden, namun tidak menjelaskan lebih jauh. "Kami berikan pengarahan lagi kepada anggota sambil dilakukan pengawasan,” ujarnya singkat.
Informasi yang diperoleh, Jokowi memang cukup geram. Saat tidak ada awak media, dibeberkan adanya sejumlah kepala daerah yang menjadi ATM bagi penegak hukum.
Memang, tahun lalu Presiden Joko Widodo menggelar pertemuan dengan para Gubernur, Kapolda, dan Kajati se-Indonesia di Istana Bogor, Jawa Barat. Pertemuan tersebut membahas sejumlah hal, di antaranya masalah kelesuan ekonomi yang disebabkan faktor ekonomi global.
Dalam arahannya, Jokowi menyampaikan langkah jangka pendek untuk menggairahkan ekonomi yang sedang lesu, yakni dengan belanja pemerintah. Langkah ini di samping akan menaikkan daya beli masyarakat, juga bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional.
Secara khusus presiden menyoroti belanja APBN yang baru tercapai 50 persen dan belanja modal yang baru terealisasi 20 persen. Bahkan dana daerah yang masih mengendap di bank waktu itu masih sangat besar, sekitar Rp 273 triliun.
Jokowi menyadari rendahnya penyerapan anggaran itu antara lain disebabkan masih banyaknya pejabat yang takut terhadap aparat hukum. Mereka takut dikriminalisasi ketika menjalankan proyek pembangunan. Ditambah masih adanya kinerja birokrasi yang lamban.
"Saya minta kepada semua aparat hukum agar jangan kriminalisasikan kebijakan. Harus ada diskresi untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan. Masalah perdata diselesaikan secara perdata, jangan dikriminalkan," imbau Presiden Jokowi melalui Tim Komunikasi Presiden di Jakarta, Senin (24/8/2015).
Menurut Jokowi, permintaan itu semata-mata demi kelancaran program pembangunan pemerintah. Bukan karena tidak mendukung program antikorupsi. Pejabat atau aparat pemerintah yang hendak melakukan terobosan atau mempercepat pelaksanaan pembangunan tidak boleh dibuat takut.
"Silahkan pidanakan sekeras-kerasnya kalau terbukti mencuri atau menerima suap," lanjut Jokowi waktu itu.
Instruksi Presiden Jokowi yang kembali meminta kebijakan diskresi dan tindakan administrasi pemerintahan jangan dipidanakan tersebut kontan mendapat tanggapan keras dari sebagian kalangan. Di antaranya dari Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Arief Poyuono, yang mengatakan bahwa instruksi Presiden Jokowi tersebut sangat bertentangan dengan konstitusi negara di mana Indonesia secara jelas merupakan negara yang menjunjung tinggi dan memiliki landasan hukum.
"Sungguh jelas bahwa Joko Widodo tidak paham tentang tata negara dan UUD 1945 terkait penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia. Sebab jika memang kebijakan kepala daerah ada yang berdampak dan berpotensi merugikan negara maka sudah selayaknya diperkarakan oleh penegak hukum atas nama negara dan apalagi sampai uang negara mengalir ke pihak yang menikmati kebijakan kepala daerah tersebut," katanya di Jakarta, Kamis (21/7/2016).
Arief menegaskan instruksi Presiden Jokowi yang meminta pihak kejaksaan dan kepolisian untuk tidak memperkarakan kebijakan kepala daerah itu sama saja dengan pembiaran untuk menyuburkan korupsi di tiap-tiap daerah.
"Terkait pernyataan Joko Widodo yang memerintahkan jaksa agung dan kapolri untuk tidak memperkarakan kebijakan kepala daerah itu adalah sebuah pembodohan yang dilakukan oleh Jokowi terhadap masyarakat. Sebab siapa yang bisa tahu kalau kepala daerah secara sengaja atau tidak sengaja membuat kebijakan administrasi yang salah," pungkasnya.
Sedangkan Ketua KPK, Agus Rahardjo, yang ikut hadir dalam pertemuan Presiden Jokowi dengan para Kapolda dan Kajati se-Indonesia tersebut, mengatakan bahwa diskresi bisa diberikan dalam dua keadaan. Pertama karena peraturannya tidak ada dan kedua dalam kondisi terpaksa atau overmacht.
"Diskresi itu kan tidak boleh dilakukan kalau peraturannya ada," kata Agus di kantornya, Jakarta, Senin (25/7/2016).
Agus kemudian mencontohkan mengenai APBN-P yang kerap diturunkan pada bulan Oktober. Menurut Agus, dana tersebut tidak bisa langsung digunakan jika belum ada peraturan yang mengaturnya.
"Kan orang sering tertangkap karena APBN-P di bulan Oktober. Itu kemudian harus ada aturan kalau APBN-P turun seperti itu, kita beri sistem seperti apa agar mereka tidak nabrak-nabrak," ungkap Agus. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment