Tuesday, December 20, 2016

MAKASSAR RAYA

PPK DISBUN PROVINSI SULSEL DIJEMPUT PAKSA DI RS IBNU SINA

SATUAN Tugas Khusus Pidana Khusus Kejati Sulsel menjemput paksa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan bibit sambung pucuk kakao Dinas Perkenunan Provinsi Sulsel, Sassi Manopo. Penjemputan paksa itu dilakukan karena Sassi Manopo mangkir dari pemeriksaan pasca ditetapkan sebagai tersangka. Penjemputan paksa dilakukan satgatsus yang dipimpin oleh Kasidik Pidana Khusus Kejati Sulsel, Siti Nurhidayah.
Sassi Manopo yang saat itu berada di ruang perawatan Aisyiah No.2 RS Ibnu Sina harus dikeluarkan paksa pada pukul 14.28 Wita dan langsung dibawa ke Kejati Sulsel sebelum dijebloskan ke Lapas Klas 1 Gunungsari Makassar.
Kasi Penkum Kejati Sulsel, Salahuddin, mengatakan, alasan kemanusiaan diabaikan karena tersangka mencoba menghindar dari upaya hukum yang dilakukan penyidik dengan cara berpura-pura sakit dan dirawat di rumah sakit untuk mengelabuhi penyidik dan memperlambat proses hukum yang disangkakan.
Upaya tersangka itu, kata Salahuddin, tidak dibenarkan sebab menghambat penanganan dan percepatan perkara. Langkah yang dilakukan penyidik lantas mempertegas tindakan dengan memanggil dokter pembanding bernama Enrico Marentek yang memeriksa tersangka sebelum dilakukan penjemputan paksa.
Hasil pemeriksaan dokter pembanding menyebutkan, kesehatan tersangka baik-baik saja, denyut jantung stabil, tensi darah normal dan tersangka tidak sedang mengidap penyakit tertentu. “Kami pelajari rekam medis tersangka, lalu kami bandingkan dengan diagnose dokter pembanding. Ternyata tersangka sehat,” beber Salahuddin yang diiyakan oleh dr Enrico Marentek bahwa ini hanya akal-akalan sehingga Kejati Sulsel mengambil sikap tegas.
Setelah dijemput dan dikeluarkan secara paksa dari RS Ibnu Sina, Sassi Manopo tak bisa berkutik apalagi mengelak, sehingga tersangka digelandang ke Kejati Sulsel untuk diperiksa atas statusnya sebagai tersangka. Pemeriksaan yang berlangsung sekitar 4 jam ini selanjutnya memutuskan penahanan tersangka di Lapas Kelas 1 Gunungsari Makassar.
Salahuddin menjelaskan, alasan penahanan itu mengacu pada aturan hukum formil KUHAP UU No.8/1991 Pasal 21 tentang pertimbangan subyektif. Selain dikhawatirkan mengulangi perbuatannya, tersangka juga dianggap berpotensi menghilangkan barang bukti dan atau melarikan diri.
Sedangkan keluarga pasien lainnya merasa kaget dan heran atas kedatangan tim penyidik kejaksaan yang menjemput paksa Sassi Manopo. Ternyata ada pejabat pemerintah dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel di dalam kamar rumah sakit yang dijemput paksa kejaksaan karena korupsi. Menurut salah satu tetangga kamar inap Sassi Manopo, Ibu Nur, bahwa sebelum dijemput paksa kejaksaan setiap malam banyak pembesuk yang datang kepada Sassi Manopo membawa map dan berkas-berkas lainnya untuk ditandatanganinya.  
Sementara untuk pertimbangan obyektif dilakukannya penahanan, lanjut Salahuddin, sebab ancaman pidana yang disangkakan kepada tersangka, yakni pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU RI No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No.31/1999 tentang Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Dan pasal 3 jo pasal 18 UU RI No.31/1999 tentang pemberantasan korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RI No.20/2001 tentang Tipikor jo pasal 5 ayat 1 ke-1 KUHP.
“Ancaman hukuman di kedua pasal itu minimal 1 tahun penjara dan maksimal 20 tahun, melebihi batas minimal dilakukannya penahanan yaitu lebih dari 5 tahun penjara. Untuk kelancaran perkara, kami melakukan penahanan, apalagi berdasarkan syarat obyektif dan subyektif hal itu dimungkinkan dilakukan”.
Salahuddin menguraikan, peran tersangka dalam pengadaan biji benih bibit sambung pucuk kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel yakni selaku Ketua Tim Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Dia diduga melakukan perbuatan mark up atau menaikkan harga berkali-kali lipat dari harga dasar. Harga yang dinaikkan itu dapat lolos karena ia juga selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Apa yang dilakukan kejati tidak berperikemanusiaan karena melakukan penjemputan di rumah sakit,” bela penasehat hukum tersangka, T Tandi Rapang, yang hadir mewakili kliennya.
Tandi mengatakan, pihaknya akan melayangkan surat penangguhan penahanan kliennya. “Kalau posisi kasusnya, saya baru akan mempelajari, nanti kita susun dulu konstruksi pembelaannya”.
Hal yang sama juga dikatakan Yuspina, istri tersangka yang ikut mendampingi penjemputan dan penahanan tersangka. “Suami saya memang sakit hipertensi, jadi seharusnya tidak diperlakukan begini. Apalagi selama ini dia kooperatif kalau dipanggil”.
Dalam pengusutan dugaan korupsi dana pengadaan bibit sambung pucuk kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel Tahun Anggaran 2015 – 2016 ini, tim penyidik telah menemukan sejumlah perbuatan melawan hukum. Di antaranya, perbuatan mark up atau menaikkan harga bibit berkali-kali lipat dari harga resmi yang dikeluarkan pemerintah serta harga pasar yang berlaku di daerah setempat.
Pejabat yang berwenang, PPK dan KPA atau Kepala Dinas Perkebunan Pemprov Sulsel, dinilai abai dan tidak obyektif dalam menentukan harga yang hanya didasari oleh survei di satu titik lokasi saja, serta tidak memiliki harga pembanding. Akibatnya, terdapat selisih harga yang jumlahnya diestimasi mencapai angka di atas Rp 2 – Rp 5 milyar. Angka itu merupakan jumlah kerugian negara berdasarkan perhitungan penyidik.

Adapun jumlah anggaran pengadaan ini sebesar Rp 18 milyar berasal dari APBN untuk diadakan di 5 kabupaten, yakni Kabupaten Bone, Soppeng, Luwu, Bantaeng serta Luwu Utara dengan jumlah total 2.050.000 bibit. Sedangkan harga bibit yang diadakan Rp 8.500,- per bibit (harga sudah termasuk dengan 15% nilai keuntungan rekanan yang sah berdasarkan UU plus biaya angkut sebesar Rp 1.500). Harga ini jauh lebih besar dari harga bibit yang sebenarnya Rp 6.250 – Rp 6.500, sementara harga angkut yang sebenarnya Rp 600 – Rp 900. (Tim) web majalah fakta / majalah fakta online / mdsnacks

No comments:

Post a Comment