Demo Ke Dewan, Dokter Di Bali Tolak Lanjutkan Pendidikan
Ketua IDI Bali, dr Kompyang Gautama, saat menyalami pimpinan
DPRD Bali.
|
IKATAN Dokter Indonesia (IDI) Bali melakukan aksi unjuk rasa di
DPRD Bali, Senin (24/10). Ratusan dokter ini menyampaikan aspirasi menolak
program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP), sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang
(UU) No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Dokter (Dikdok). Pasal 7 dan 8 UU itu
mewajibkan dokter yang sudah menyelesaikan pendidikannya diharuskan untuk
melanjutkan lagi ke pendidikan DLP selama tiga tahun. Mereka mendesak UU
tersebut direvisi, sebab dinilai mubazir dan mengganggu sistem pelayanan.
Setelah berorasi, perwakilan IDI Bali
diterima langsung oleh Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, Ketua Komisi I
DPRD Bali, Ketut Tama Tenaya, Ketua Komisi III DPRD Bali, Nengah Tamba, dan
sejumlah anggota dewan lainnya. Koordinator aksi yang juga Ketua IDI Bali, dr
Kompyang Gautama, yang didampingi Koordinator IDI Kabupaten Badung
menyampaikan, aksi para dokter tersebut merupakan aksi damai serempak yang
dilakukan seluruh anggota IDI di tanah air.
Menurut dia, berbagai usaha telah dilakukan untuk
menyadarkan pemerintah mengenai persoalan yang dihadapi para dokter di
seluruh Indonesia. Aksi kali ini juga dilakukan bertepatan dengan hari ulang
tahun IDI yang ke-66. “Kami meminta agar UU Pendidikan Kedokteran dievaluasi
dan kami meminta agar pasal 7 dan pasal 8 dihilangkan,” tegasnya.
Menurut dia, lahirnya UU Tentang Pendidikan
Kedokteran ini dinilai akan merugikan anggaran negara karena akan terjadi
pemborosan. Sebab, negara harus menyekolahkan ribuan dokter yang ada di seluruh
Indonesia. UU harus segera dievaluasi dan direvisi, karena dianggap
mubazir dan akan menghabiskan banyak waktu dan menggangu pelayanan kesehatan masyarakat.
Alasan penolakannya, karena masalahnya bukan di
dokter, tapi persoalan pelayanan primer adalah ada di sistem pelayanan, sistem
pendidikam dan sistem rujukan. Kalau dibandingkan dengan ilmu yang lain,
dalam empat tahun dia sudah bisa mendapatkan gelar sarjana (S1), kalau mereka
melanjutkan sampai empat tahun dia sudah bisa menyelesaikan pendidikannya
sampai S3. Sementara di fakultas kedokteran baru akan mendapat gelar dokter
setelah menyelesaikan pendidikan selama 8 tahun. "Orang-orang yang ingin
jadi dokter minimal harus menempuh 11-12 tahun. Siapa yang mau melanjutkan ke
kedokteran ? Kalau ditambah lagi dengan
pendidikan PDL tiga tahun berarti setelah 11 tahun baru selesai dan baru bisa
praktek di puskesmas. Hal itulah yang menyebakan UU tersebut harus
direvisi," tegasnya.
Gautama menambahkan, terkait kompetensi dokter,
ia menilai kalau sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Fakultas
Kedokteran UNUD sudah cukup. Pihaknya berharap dari aspirasi yang disampaikan,
IDI meminta agar dewan bisa memperjuangan dan membuat rekomendasi agar UU
Dikdok direvisi.
"Di FK UNUD doktor dan profesor banyak
dengan akreditasi A. Apalagi yang perlu dikhawatirkan ?" katanya.
Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, mengatakan,
pihaknya akan segera menindaklanjuti aspirasi tersebut dengan membuat
rekomendasi ke pemerinrah pusat. "Kami melihat bahwa UU ini tidak membuat
nyaman, akan tetapi justru meresahkan. Sehingga dengan alasan itu, kami akan
segera membuat rekomendasi soal penolakan IDI agar UU ini segera direvisi,”
katanya.
Ia juga menilai,
pendidikan DLP yang disesuaikan dengan standar WHO itu akan sangat lama dan
melelahkan. "Padahal profesi dokter kita sudah cukup optimal. Kalau mereka
dituntut lagi untuk sekolah kompetensi tiga tahun, sementara di S1 mereka sudah
menempuh waktu 8 tahun, maka ini akan membosankan. Hari ini kita buat
rekomendasi dan kita sampaikan faktanya yang terjadi di lapangan bahwa UU itu
telah membuat keresahan. Intinya, hasilnya dari awal sudah begini, kami
khawatir nantinya tidak akan baik seperti apa yang kita harapkan,” kata Adi
Wiryatama. (kev/kik)
No comments:
Post a Comment